Ongkos Besar Picu Korupsi, Pelaksanaan Pilkada Bakal Dievaluasi
BERITABETA.COM, Jakarta – Ongkos politik dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dinilai cukup besar, sehingga berpotensi terjadi peningkatan tindak pidana korupsi di daerah.
Mengatasi hal ini, Pemerintah Pusat (Pempus) kini mempertimbangkan untuk mengevaluasi kembali pelaksanaan Pilkada.
“Memang ada pemikiran-pemikiran bahwa akan dikurangi jumlah Pilkada, katakanlah bupati, dipilih oleh DPRD, itu juga suatu solusi juga,” ujar Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden, Selasa (11/12/2018).
Namun ada kekhawatiran, apabila pemerintah daerah dipilih oleh DPRD dapat menimbulkan persoalan yang lebih besar yakni jual beli jabatan. Jusuf Kalla meyakini, evaluasi pelaksanaan Pilkada dapat mengurangi korupsi di daerah.
“Walaupun kita takut juga jangan-jangan itu (Pilkada dipilih oleh DPRD) ditender saja itu di daerah itu kan, itu juga ada bahayanya. Tapi mudah-mudahan mungkin lebih kecil risikonya dibanding sekarang ini,” kata Jusuf Kalla.
Jusuf Kalla mengatakan, maraknya korupsi di daerah akibat adanya perubahan sistem pemerintahan. Salah satunya yakni desentralisasi, dimana kewenangan pemerintah pusat telah dilimpahkan ke pemerintah daerah.
“Salah satu teori atau pun ungkapan yang selalu disebut kan “power tend to corrupt”. Jadi dulu power itu ada di pusat, jadi orang pusat banyak yang korup, di daerah hanya ikut saja apa yang diputuskan oleh pusat, begitu halnya DPR. Sekarang power itu terbagi2, terbagi di Pusat, sepertiga; sepertiga DPR; sepertiga daerah,” ujar Jusuf Kalla.
Karena ada pembagian kekuasaan tersebut, maka korupsi juga semakin meluas dan terbagi-bagi. Apalagi, daerah diberikan kewenangan penuh dalam perizinan proyek investasi dan kemandirian pertumbuhan daerahnya. Sehingga daerah mempunyai kekuasaan untuk mengatur anggarannya masing-masing.
“Maka di situ letaknya, maka powernya, otonomi diserahkan ke daerah dan juga ke DPR, maka tend to corrupt itu terjadi,” kata Jusuf Kalla.
Jusuf Kalla mengatakan, tidak mudah mengubah sistem desentralisasi. Sebab, kewenangan pemerintah pusat telah dilimpahkan ke daerah, misalnya perizinan investasi.
“Kalau otonomi susah ditarik lagi, begitu diberikan kewenangan ke daerah susah ditarik lagi, walaupun ada juga yang dipindahkan (kewenangan). Kalau dulu izin tambang di kabupaten, sekarang izin tambang itu ke provinsi, itu lebih mengurangi suatu situasi kewenangan di daerah,” ujar Jusuf Kalla. (BB-ADIS)