Hari Ayah Nasional baru saja berlalu 12 November 2020. Namun, momentum Father’s Day ini, setiap tahunnya tetap saja penuh hikmat, bila setiap orang mau mengulik perjalanan hidup para ayah yang hebat. Kisah dua orang ayah di Kota Masohi ini, setidaknya mampu dijadikan pelajaran berharga, apalagi di tengah pandemic Covid-19 yang masih berlangsung saat ini.   

BERITABETA.COM, Masohi – Keringat yang menetes tak menghalangi terkembangnya sebuah senyum di bibirnya saat bertemu dengannya. Raut wajahnya sedikit lelah, namun ia toh tak menggubrisnya.

Dari jalanan depan kantor POM Kota Masohi, lelaki paruh baya itu tak sungkan memulai obrolan di senja itu.

Hampir setiap hari, lelaki bernama Silu Kainama itu tetap setia pada profesi yang dijalaninya. Demi kelangsungan hidup keluarganya, lelaki kelahiran Negeri Porto, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah itu, tak pernah berhenti bekerja untuk menafkahi keluarganya.

Sambil memegang sapu di tanggannya, Silu memulai obrolan dengan beritabeta.com mengisahkan perjalanan hidupnya hingga tertambat di kota yang dijuluki Pamahanunusa itu.

Pria berusia 65 tahun ini,  mengaku setiap hari harus bekerja mulai dari pukul 06.00 – 10.00 WIT di pagi hari dan berlanjut di pukul 15.00 – 18.00 WIT sore hari.

“Saya sudah enam tahun bekerja sebagai tukang sapu di Masohi,” kata Silu mengawali kisahnya.

Pekerjaan itu dijalani sebagai satu-satunya sumber pendapatan bagi keluarganya. Setiap hari Silu harus mengintari jalanan di depan  kantor POM hingga Kantor PLN di Kota Masohi yang panjangnya sekitar 200 meter.

Warga Desa Passo, Kota Ambon ini mengaku semasa hidupnya selalu bekerja serabutan menafkahi keluarganya. Dari menjadi  nelayan, petani, hingga sebagai supir truk. Namun, usianya yang semakin senja memaksa pria dua anak ini harus memilih pekerjaan yang ringan.

“Saya sudah tua, sudah tidak mampu lagi melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaga ekstra. Tetapi jika saya tidak bekerja, saya tidak bisa menafkahi keluarga saya,” ungkapnya.

Untuk tetap berkerja memenuhi kebutuhan keluarganya, Silu terpaksa harus minggalkan kota Ambon. Anak istrinya ditinggal di Desa Passo. Ia pun menetap di Kota Masohi, setelah seorang kerabat membantunya.   Silu direkrit sebagai petugas kebersihan jalan di bawah Dinas Lingkungan Hidup, Kabupaten Maluku Tengah.

“Awalnya, saya digaji Rp. 1.100.000,. Sekarang per bulannya sudah Rp. 1.800.000,- dipotong BPJS tenaga kerja sebesar Rp. 113.000 jadi bersihnya terima Rp. 1.687.000,”beber Silu.

Dari pendapatan ini, Silu lalu membiayai istri dan anak-anaknya.   Meski usianya tak lagi muda, Silu mengaku tetap menjalankan pekerjaannya dengan ikhlas dan penuh rasa syukur.

“Sebagai seorang ayah, saya hanya berharap kelak anak-anak bisa melanjutkan pendidikan sampe ke jenjang perguruan tinggi. Dan tentu harus hidup bahagia,”ungkapnya.

Silu mengaku, sangat bersyukur meski di masa pandemic Covid-19 saat ini, dirinya tetap bisa bekerja. Meskipun harus memulai semuanya dengan mematuhi protocol kesehatan.

“Bagi saya bekerja itu hal yang tak bisa ditinggalkan, tapi harus pula disertai dengan merapkan protocol kesehatan. Apalagi saat ini ada Covid-19, masker wajib digunakan agar terhindar dari penyakit itu,” terangnya.

Lelaki Bone yang Setia di Kota Masohi

Jika Silu Kainama masih jelas tahu kapan menginjakkan kakinya di Kota Masohi, tidak seperti hal Malana. Lelaki paruh baya asal Bone, Provinsi Sulawessy Selatan ini,  bahkan sudah lupa kapan dia pertama kali menginjakkan kakinya di Kota Masohi.

Masohi baginya kota abadi sepejang hidupnya. Hampir semua warga di kota itu sudah familiar dengan wajah pria berusia 65 tahun ini.

“Sudah puluhan tahun, saya tidak ingat lagi tahun berapa saya ke Masohi. Yang saya ingat toko di terminal Masohi baru satu,” ungkap Malana kepada beritabeta.com.

Kerasan menetap di kota Masohi, membuat setiap orang yang melintasi jembatan Muhammadiyah menuju kompleks Baterek, pasti melihat sosoknya yang kerap menjajakan dagangan di emperan sebuah apotik.

Malana, lelaki paruh baya asal Bone, yang setiap hari menjajakan dagangannya di depan apotek di kawasan Jembatan Muhammadiyah, Kota Masohi

Malana mengisahkan, awal berada di Kota Masohi dia diberi  tanah oleh seorang kerabat yang dia sebut dengan pak Haji. Tanah itu berada  di daerah kampong baru. Dari modal tanah pemberian itu, Malana kemudian berkebun dan ditempatinya sampai saat ini.

Bersama istrinya Salmi, keduanya  kemudian berusaha semampunya untuk bertahan hidup. Dari perkawinannya dengan Salmi, Malana mengaku tidak mempunyai anak.

Setiap harinya Malana berjualan dengan cara menghamparkan dagangannya di emperan apotik. Bermodalkan  uang sebesar Rp. 1.500.000., Ia bisa menjual bermacam-macam dagangan seperti pisang, bawang, tomat, cabe, ubi, dan kadang juga buah-buahan.

“Saya belanjanya subuh di pasar,” ungkap Malana.

Selain di emperan apotik, Malana juga suka berpindah-pindah tempat. “Yang penting, bisa berteduh saja, saya pasti jualan di situ,” kata Malana.

Malana mengaku tidak pernah menghitung keuntungannya setiap hari. Meski dagangannya tersisa. Yang penting, kata dia, bisa membawa pulang sedikit uang kepada istrinya di rumah dan sisanya untuk modal dagangan.

“Saya tidak susah, Allah masih memberikan banyak kemudahan kepada saya dan istri. Semua disyukuri. Masih banyak orang lebih susah dari saya, ”pungkas Malana.

Meski harus tetap beraktifitas, baik Silu Kainama dan Malana tidak pernah meninggalkan masker di wajah mereka. Kedua selalu menggunakan masker sesuai anjuran yang disampaikan pemerintah.

“Ini bagian dari kepatuhan kita kepada anjuran pemerintah. Apalagi kita pun tidak tahu dari mana Covid-19 itu ada. Intinya harus tetap berkerja dan tetap sehat,” tandas Malana menjawab pertanyaan soal penggunaan masker (*)

Reporter : Edha Sanaky
Editor : Redaksi