Akhir-akhir ini karena menjelang Pilpres hoax terutama di media sosial makin gencar. Tidak sedikit di antara konten media sosial itu membuat kita ngeri dan membuat kita bertanya-tanya beginikah wajah sebuah negara besar.

Di Mesir konon ada cerita anak (dongeng) yang begitu melegenda tentang mengapa orang tidak boleh melakukan hoax dan sejenisnya. Inti ceritanya seperti ini. Ada seorang anak sebut saja Sarah (7 tahun), suatu hari bertanya pada ayahnya, mengapa orang dilarang saling caci, menebar hoax, atau menjelek-jelekkan orang lain.

Mendapat pertanyaan anak kecil seperti itu sang ayah bingung menjawab dan menjelaskannya. Namun dihati sang ayah pertanyaan itu harus tetap dia jawab nanti saat momentum yang tepat.

Pada suatu kesempatan kebetulan hari libur, Sarah sang anak diajak ayahnya berlibur ke sebuah gua. Tiba di mulut gua itu, sang anak ditinggalkan oleh sang ayah, lalu ia pamit akan pergi sebentar saja tidak lebih dari lima menit.

Ditinggal di mulut gua yang sepi ternyata membuat sang anak ketakutan. Spontan ia berteriak minta tolong dan memanggil-manggil sang ayah. “Tolong…!!! ayah ?!, Sarah takut!!! Teriakan sang anak ternyata menggema memenuhi seluruh gua.

Ketika Sarah berteriak ”tolong!” suaranya menggema kembali ke arahnya tak kalah keras: “tolong…tolong…long…long..long !”

Mendengar anaknya memanggil seraya ketakutan,sang ayah muncul sambil tertawa-tawa. “Kok ayah tertawa-tawa, Sarah kan ketakutan”, rengek sang anak.

“Sarah”,  kata sang ayah, “beberapa waktu lalu kamu bertanya kepada ayah mengapa orang dilarang saling caci, menebar hoax, atau menjelek-jelekkan orang lain.” Kamu tahu jawabannya ?

Lalu sang ayah menjelaskan. Bahwa orang yang suka menjelekkan orang lain, menebar hoax, fitnah, seolah dirinyalah yang paling benar, mereka itu ibarat tadi kamu di mulut gua sedang berteriak. Dan suaranya menggema  kemudian memantul ke arah dirinya sendiri, bahkan berkali kali.

“Maka jika kamu meneriakkan hal jelek, jahat maka kejelekan, kejahatan itu sejatinya untuk dirimu sendiri.Demikian pula kalau kamu meneriakkan hal baik maka kebaikan itulah yang akan datang kepadamu. Oleh karena itujauhilah hoax, fitnah kepada orang lain,” sang ayah menjelaskan.

Maka, hoax atau menjelekkan orang lain di medsos disadari atau tidak dapat menyakitkan orang lain, bahkan dapat menimbulkan rasa dendam yang terkadang sulit termaafkan. Ibarat memaku kayu, kita bisa mencabut paku dari kayu namun bekas cabutan paku tetap melekat disitu.

Demikian pula dampak dari saling ejek, saling serang di media sosial akan membekas sampai kapan pun bisa jadi tak trermaafkan.

Sebagai manusia tentu ocehan kita di medsos itu sekadar main-main atau malah serius karena membela jagoan kita, namun sadarkah kita bahwa cara-cara itu dapat melukai perasaan orang lain, menimbulkan permusuhan. Di sini kita dapat belajar pada filosofi wayang, maju seharusnya tanpa menyingkirkan, naik seharusnya  tanpa menjatuhkan, menjadi baik tapi tanpa menjelekkan dan menjadi benar tanpa menyalahkan.

Secara  ekstrim agama bahkan membuat perumpamaan, “orang yang memfitnah adalah ibarat orang yang sedang memakan bangkai saudaranya sendiri.” Tegakkah kita berbuat demikian?

Indonesia adalah bangsa yang besar. Ciri bangsa yang besar menurut Yudi Latief adalah dapat saling menghargai, saling menghormati, saling membantu kalau ada yang kesulitan. Atau paling tidak tidak menambah masalah kalau kita tidak mampu memberikan sosusi atas masalah yang tengah dihadapi.

Lalu masihkah kita bangga saling hujat, menempuh cara-cara yang sejatinya tidak terhormat itu.

Akhirnya, agama apapun tidak ada yang mengajarkan dan menganjurkan berbuat jahat dan menjelekkan, memfitnah orang lain. Oleh karena itu, semestinya hoax dan apapun yang sejenis di medsos dapat kita hentikan. Jika dibiarkan tentu akan makin besar dampaknya pada negara dan bangsa ini.

Dalam Qur’an Surat Fussilat ayat 46 dikatakan: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-Mu menganiaya hamba-hambaNya.”

Waallahu’alam bissawab.

Oleh: Sobirin Malian,SH MH KD (Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlyan Yogyakarta)