Soal PP 43/2018, Pelapor Korupsi Itu Ada Pamrihnya
BERITABETA, Jakarta – Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2018 yang mengatur pemberian hadiah Rp200 juta kepada pelapor korupsi tersebut merupakan ranah hukum dan efektivitasnya tergantung dari aparat dan budaya hukum itu sendiri.
“PP tersebut adalah payung kekuasaan. Jadi, orang lapor korupsi itu pamrih, bukan tujuan,” ujar Fickar dalam diskusi Empat Pilar MPR RI’ PP 43/2018′ di Parlemen Senayan, Jumat, (12/10/2018).
Laporan dari pelapor tersebut, kata Fickar, akan menjadi perkara yang akan berlanjut dalam putusan hukum tetap pengadilan.
“Uang Rp200juta baru bisa didapatkan setelah ada kekuatan hukum tetap, kapan dapatnya, setelah ada laporan kerugian negara,” pungkasnya.
Namun, Fickar tak sependapat dengan Ketua KPK Agus Rahardjo yang menyatakan pelapor akan mendapatkan penghargaan berupa piagam atau premi dan akan dimasukkan dalam putusan hukum. “Saya tak setuju karena bukan kewenangan KPK,” bebernya.
Sementara, Anggota MPR RI Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan menyambut baik PP 43 tahun 2018. Menurut Arsul, PP itu diteken Presiden Jokowi dalam rangka mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia.
Untuk itu, Arsul yang juga anggota Komisi III DPR itu menegaskan Jika tidak diberikan ‘Reward’ seperti itu, maka kedepannya bisa bahaya, mengingat anggaran-anggaran dana desa tiap tahun akan meningkat.
“Saya kira Pak Jokowi ini Trial. Entah PP itu Error atau gak, yang penting Trial dulu lah,” pungkas Arsul.
Kendati demikian, PP nomor 43 tersebut akan dibahas lebih lanjut oleh Komisi III DPR dalam Rapat Kerja (Raker) bersama koordinator legislasi pemerintah yakni Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham RI).
“Nanti Raker kira bahas aspek-aspek terkait dengan pengamanan fisik pelapor, karena itu juga memerlukan sinkronisasi antara pemerintah dan lembaga penegak hukum yaitu KPK, Polri, Jaksa Agung dan LPSK,” pungkas Arsul Sani. (BB/ADIS)