Hari Pangan Sedunia, Apa Yang Dibawa Maluku?
Soalnya, sagu Riau sudah mendunia, sudah menjadi komoditas eksport dan dijadikan primadona pangan lokal. Disana sagu sudah dibudidaya dan konsep hulu ke hilir yang sudah keren. Pasca panennya ada industry penepungan dan kemudian berlanjut dengan aneka produk turunan yang sudah sangat mewah. Sebuat saja browonis dan segala bentuknya. Kalau tidak salah, ada sebanyak 300 menu hasil olahan sagu di Riau.
Itulah kita Maluku. Mendesaknya gerakan peduli masalah pangan ini juga disebabkan sistem pangan dan pembangunan pertanian tidak berorientasi pada industry. Mainan kita hanya konvensional. Maka sagu kita hanya laris manis di pasaran lokal. Itupun mungkin makin berkurang, menyusul lidah orang Maluku yang sudah lama dijajah pangan luar semisal beras. Sudah begitu, seabrek program pemerintah yang dikucurkan ke daerah kita juga berkonsep jawa. Ada program padi, jagung dan kedele (Pajale).
Orang Maluku kemudian diajarkan untuk menanam jenis komoditas yang bukan endemik. Segala alsintan (alat mesin pertanian) dan saprodi (sarana produksi) disuplai, maka lahan sagu tergusur, hotong ditinggalkan merana dan stagnan menjadi komoditi lokal masyarakat di Pulau Buru. Padahal, jika Hotong ikut dikembangkan, mungkin akan setara gandum. Bahkan kandungan gizi hotong lebih tinggi dan bisa menjadi primadona ekonomi kita di Maluku. Sagu juga demikian, jika dikembangkan secara kontinyu, mungkin ada miliaran rupiah yang diraup daerah berupa PAD dari hasil produksi sagu.
Jadi jangan heran, jika masalah pangan lokal di Maluku lambat laun akan hilang pamor dan terancam ditinggalkan generasi berikutnya. Penyebabnya, makin kendornya animo masyarakat dari waktu ke waktu akan pangan lokal. Prediksi ini juga sempat dilontarkan mantan Kadis Pangan Provinsi Maluku, M.Z, Sangadji beberapa waktu lalu.
Kata beliau, fenomena ini akan terjadi, karena konsep pengembangan pangan kita yang tidak terlalu kuat. Dari sisi keberpihakan anggaran dan juga konsep, kita sangat jauh tertinggal, jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Jika sudah demikian, lantas buat apa kita hadir di HPS? Jawabannya formalitas. Sebab, kita akan tetap miskin, karena salah satu indikator kemiskinan itu selalu terukur dari banyaknya tingkat komsumsi pangan beras. Dan bila BPS ikut menghitung pangan lokal pun, predikat miskin akan tetap menempel selamanya, karena pangan lokal kita juga sudah “mati suri” (***)