Terkait dengan galian C yang diambil di sungai-sungai dan lagi ramai dibicarakan, akui Adjie Hentihu tingkat resiko sangat minim. Karena dia bukan membongkar gunung, atau merambah hutan, atau menghancurkan sesuatu.

“Galian C yang ada dalam kali itu secara alami turun dari gunung dan hutan saat musim penghujan. Entah itu dari patahan gunung atau yang lain dan materialnya berjuta-juta ton masuk ke sungai mengalir dari hulu ke hilir,” jelasnya.

Hentihu megaskan, apa jadinya kalau dibiarkan material itu terus menumpuk dalam kali. Nanti suatu saat akan terjadi peninggian permukaan air saat hujan karena pendangkalan kali, kemudian air itu masuk ke perkebunan masyarakat yang ada di tepian.

"Nah, ini juga masalah. Iya toh, sehingga secara ekologis, ketika ada pengangkatan material galian C dari dalam kali, maka dengan sendirinya permukaan air itu akan turun, air akan berjalan sesuai alurnya. Dia tidak akan merambah ke mana-mana.Ini minim resiko terhadap lingkungan dan memang tidak ada resiko sama sekali,"bebernya.

Galian C untuk kebutuhan proyek pembangunan

Kemudian dari aspek ekonomi, seandainya kran galian C ditutup, maka pengusaha akan mendatangkannya dari luar Kabupaten Buru. Ini menyebabkan harga galian C naik dan akan berimbas kepada mahalnya penganggaran.

"Sehingga kran galian C ini tetap kita buka. Supaya apa? Agar pembangunan tetap jalan, baik itu proyek APBN, APBD, dan terutama masyarakat yang membangun rumah dan sebagainya dapat memanfaatkan galian C dari situ,"papar Adjie.

Menurut Adjie Hentihu, pemerintah tidak mungkin terus menerus melakukan reklamasi di kali yang dangkal, karena terbentur dengan anggaran. Tapi ketika material dalam kali ini dimanfaatkan oleh pengusaha galian C, secara ekonomi akan menambah pendapatan kepada masyarakat yang punya lahan, maupun kepada pekerja dan semua kegiatan pembangunan yang terkait galian C tetap berjalan.

Kemudian ada retribusi/pajak galian C yang disetor juga ke daerah (Pemkab Buru), proyek provinsi, pusat maupun kabupaten.

Menyinggung tentang perizinan , di UU Nomor 32 ada tiga tahap dalam proses perizinan, termasuk diantaranya  ada AMDAL, dan UPL/UKL. AMDAL itu kalau pekerjaannya dalam skala besar, HPH, pertambangan dan sebagainya. Kalau UPL/UKL diterapkan kepada pengusaha galian C yang mengambil material dari kali.

Para ahli juga yang menyusun UPL/UKL. Mereka tidak bekerja di atas meja, tapi turun langsung ke lapangan. Ahli-ahli dari UNPATTI yang menyusun UPL/UKL ini.Bukan sembarangan orang yang menyusunnya, sehingga hasilnya betul-betul digunakan sebagai referensi lingkungan dalam mengelola galian C dan sebagainya.

"Marilah kita lebih percaya kepada ahlinya dari pada percaya di luar dari pada itu terkait dengan kerusakan lingkungan, pencemaran dan sebagainya,"ucap Adjie Hentihu (BB-DUL)