BERITABETA.COM, Namlea - Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Namlea menuding CV Masrah Indah telah merusak hutan mangrove ratusan hektar di Teluk Kaiely dan merubahnya  menjadi tambak ikan.

Ketua HMI Cabang Namlea, Abdulla Fatsey mengungkapkan, kasus eksploitasi hutan mangrove oleh CV Masrah Indah di kawasan pesisir Teluk Kayeli, Kabupaten Buru kian menunjukkan indikasi pelanggaran serius terhadap hukum lingkungan dan tata ruang wilayah.

Dalam keterangan persnya, HMI menduga CV Masrah Indah telah beroperasi jauh sebelum dokumen PKKPR (Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang) diterbitkan pada tahun 2023 lalu.

"Sehingga seluruh aktivitas yang dilakukan sebelumnya tidak memiliki dasar hukum yang sah, " jelas Abdulla Fatsey, Minggu sore (19/10/2025).

Fatsey juga menduga kuat, kalau CV Masrah Indah belum mengantongi Surat Keputusan (SK) resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait pelepasan kawasan hutan Mangrove menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) di lokasi kegiatan tersebut.

"Artinya, secara hukum, wilayah tersebut masih berstatus kawasan hutan, dan setiap aktivitas eksploitasi yang dilakukan di atasnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan kehutanan dan lingkungan hidup,"tegas Fatsey.

"Mengabaikan Asas Legalitas dan Hirarki Peraturan

CV Masrah Indah diketahui menggunakan dokumen UKL-UPL (Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan) sebagai dasar perizinan, padahal kegiatan yang dijalankan jelas menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan, "sambung Fatsey.

Fatsey lalu menyentil  Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa setiap kegiatan dengan potensi dampak besar wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

 

Dengan memilih menggunakan UKL-UPL, lanjut Fatsey, perusahaan tersebut secara nyata mengabaikan asas legalitas, yakni prinsip fundamental dalam hukum, bahwa peraturan yang lebih rendah tidak dapat mengesampingkan peraturan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori).

 

Dalam konteks ini, Permen LHK No. 4 Tahun 2021 yang dijadikan rujukan oleh CV Masrah Indah tidak dapat mengalahkan norma yang telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009.

“Penggunaan dokumen lingkungan yang tidak sepadan dengan skala dampak merupakan pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan asas legalitas dalam sistem hukum nasional,”kecam Fatsey.

HMI dengan keras mengecam adanya pelanggaran Tata Ruang dan Hak Masyarakat, karena kegiatan CV Masrah Indah  tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten Buru, yang menetapkan kawasan mangrove sebagai zona lindung ekologis.

 

"Akibat pengabaian tersebut, masyarakat kehilangan sumber ekonomi berbasis pesisir seperti hasil tangkapan ikan, serta menghadapi risiko abrasi yang meningkat akibat rusaknya fungsi perlindungan alami dari hutan mangrove,"tutur Fatsey.

Ketua HMI yang akrab dipanggil Afa ini juga menyindir lemahnya pengawasan Pemerintah Kabupaten Buru dan Ketidakjelasan Status Kawasan.

Fakta bahwa PKKPR baru terbit tahun 2023 menimbulkan pertanyaan serius tentang mekanisme pengawasan dan penegakan hukum oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru.

"Bagaimana mungkin sebuah perusahaan dapat beroperasi selama bertahun-tahun tanpa kesesuaian ruang, tanpa AMDAL, dan tanpa SK pelepasan kawasan hutan?, " cibir Fatsey.

HMI dengan tegas menyampaikan seruan terbuka akan melawan setiap bentuk kebijakan pemerintah daerah dan korporasi yang bertentangan dengan hukum serta mengabaikan hak-hak masyarakat.

Dalam pernyataan sikapnya, HMI Cabang Namlea mendesak:

1. Audit lingkungan dan hukum independen terhadap seluruh aktivitas CV MASRAH INDAH sejak awal beroperasi;

2.  Pencabutan izin perusahaan jika terbukti melanggar asas legalitas dan prinsip peraturan perundang-undangan;

3. Publikasi resmi SK pelepasan kawasan hutan produksi oleh Kementerian LHK untuk menjamin transparansi hukum;

4. Rehabilitasi ekosistem mangrove secara partisipatif bersama masyarakat lokal;

5. Penegakan hukum tanpa kompromi terhadap pejabat maupun pihak perusahaan yang terlibat dalam proses perizinan yang cacat hukum.

"Keadilan ekologis sebagai tanggung jawab Negara. Kasus CV Masrah Indah menunjukkan adanya defisit moral dan administratif dalam tata kelola sumber daya alam daerah, " lagi kecam HMI Cabang Namlea.

Ia menambahkan, negara melalui pemerintah daerah wajib hadir untuk memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak berjalan di atas pelanggaran hukum dan kehancuran ekosistem (*)

Pewarta : Art