Oleh : Saddam Malik Tubaka (Mahasiswa Pascasarjana Prodi Ekonomi Pembangunan Unpatti)

Jaringan retail waralaba Indomaret atau PT Indomarco Prismatama yang merupakan salah satu anak perusahaan Salim Group yang hadir di kota Ambon kini tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Ada yang menyambut dengan sikap optimisme tapi ada juga yang menyikapinya dengan pesimisme.

Tentu saja pada kalangan optimistik ini didasari oleh teori-teori pertumbuhan ekonomi yang umumnya menghendaki adanya intervensi para pengusaha baik lokal maupun asing untuk menghidupkan laju pergerakan perekonomian suatu daerah yang ditunjang oleh kemajuan teknologi.  Sedangkan menurut kalangan pesimistik, Indomaret akan mematikan ruang gerak para pedagang local.

Menurut Wiwiek Yusuf, Marketing Director PT. Indomarco Prismatama,  ada sekitar 100 gerai Indomaret yang akan dibuka dan untuk kota Ambon. Dan tahun 2018 lalu Indomaret mencatat pendapatan 70,38 triliun dan pendaptannya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Pertanyaannya adalah bagaimana dampak dari adanya Indomaret terhadap pertumbuhan ekonomi di Maluku?

Tentu secara angka statistik, Indomaret akan berkontribusi terhadap meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi. Seperti tercatat pada data Badan Pusat Statistik bahwa pertumbuhan ekonomi Maluku triwulan I tahun 2019 sebesar 6,32 % tumbuh  lebih tinggi dibandingkan triwulan I tahun 2018 lalu bahkan lebih tinggi di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.

Angka-angka inilah yang kemudian menjadi landasan bagi pemerintah untuk menepuk dada sebagai torehan presatasi. Kita masih punya pertanyaan lanjutan, lantas bagaimana angka pertumbuhan yang cukup tinggi tersebut memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat?

Atau sekurang-kurangnya bagi pengurangan angka kemiskinan di Maluku? Atau dengan kata lain bahwa yang terpenting adalah bukan pertumbuhan ekonomi sudah tumbuh berapa persen tetapi kemiskinan suda turun berapa persen. 

Secara teori maupun fakta, Indomaret tentu akan turut menyumbang bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi di Maluku. Namun, menjadi tidak berarti jika output dari pertumbuhan ekonomi tersebut tidak dinikmati oleh semua masyarakat atau sebagaian besar masyarakat.

Tetapi pihak investor dan pemerintahlah yang merauk keuntungan dan manfaat yang sebesar-besarnya. Kondisi ini dikenal dengan istilah trickle up effect atau efek muncrat ke atas.

Itulah mengapa ketika diteliti menggunakan alat analisis untuk melihat pengaruh pertumbuhan ekonomi di Maluku ternyata menunjukan pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan.

Masalahnya adalah hasil dari pertumbuhan ekonomi hanya ada dalam catatan birokrasi dan data di BPS sementara wujudnya di bawah entah kemana oleh pihak investor (***)