BERITABETA. COM, Ambon – Ibarat bunyi  peribahasa “sudah jatuh tertimpa tangga pula,”. Analogi dalam peribahasa ini serasa tepat untuk mengambarkan nasib puluhan petani karet di Desa Samasuru, Kecamatan Elpaputih, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.

“Dana Desa, PKH, BLT dan seabrek bantuan yang dikucurkan pemerintah, tidak pernah menyentuh negeri ini. Mereka hidup ibarat ‘anak ayam kehilangan induk” hanya bisa mengandalkan potensi alam yang dimiliki,”

Mereka terpaksa harus merintih sepanjang tahun. Apa yang menjadi tumpuan mereka sebagai petani karet pun kini pupus. Mereka harus ‘banting setir’ tak lagi menyadap getah pohon bernama latin ‘Hevea brasiliensis’ itu.

Ada sekitar 25 petani karet di desa ini yang akhirnya memutuskan untuk beralih menanam porang, komoditas anyar yang diyakini  menjanjikan untuk masa depan keluarga. Apa sebabnya?

Kepada beritabeta.com, Selasa malam (12/5/2020) belasan petani itu mengaku kesulitan, karena harga karet yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka anjlok di pasaran.

“Saat ini harga per kilogram harga karet di pasaran sudah tidak menjanjikan. Bila dihitung dengan waktu dan tenaga yang harus digunakan petani sangat tidak sebanding. Harganya hanya Rp. 4 ribu perkilogram,” ungkap Justin Tuny, tokoh muda Samasuru yang kini mendampingi petani menanam porang di desa tersebut.

Justin mengaku,  25 warga Samasuru yang sejak dulu menggeluti profesi sebagai petani penyadap karet ini, sangat kesulitan dalam membiayai kebutuhan rumah tangga mereka. Apalagi, saat ini kondisi perekonomian makin sulit setelah ada pandemi corona melanda.

“Beberapa tahun lalu, harga karet yang dipanen petani masih berkisar Rp. 10 ribu hingga Rp. 12 ribu per kilogram. Saat itu para petani masih bisa memenuhi kebutuhan keluarga termasuk menyekolahan anak-anak mereka. Namun saat ini, kondisi makin memprihatinkan,”  bebernya.

Akibat kodisi ini, Justin bersama beberapa warga kemudia menginisiasi petani untuk beralih menanam porang. Porang diyakni bisa menjadi komuditas yang menjanjikan, karena  punya nilai ekonomi di pasaran.

Selain itu, budidaya porang dianggap tidak sulit dilakukan, tidak membutuhkan keahlian khusus. Petani juga bisa menanam bibit porang secara tumpang sari di kebun pala milik warga, sehingga dari sisi pemanfaatan lahan juga sangat mudah.

Tak Pernah Menerima Bantuan Pemerintah

Selain mengalami kesulitan di tengah kondisi pandami Covid-19 yang tengah melanda saat ini, warga Desa Samasuru, yang selama ini mengklaim diri masuk sebagai wilayah administratif Kabupaten Maluku Tengah, juga seperti hidup di negeri tanpa negara.

Sejak tahun 2009 silam, negeri dengan jumlah ribuan jiwa itu, seperti “anak ayam kehilangan induk”. Wilayah mereka menjadi rebutan dua kabupaten yang bersengketa soal tapal batas wilayah. Imbasnya hak-hak mereka terpasung.

” Sudah 11 tahun warga di Negeri Samasuru kan tidak disentuh dengan bantuan pemerintah oleh karena itu masyarakat harus berupaya semaksimal mungkin untuk bisa berkambang sama dengan negeri-negeri tetangganya yang sering mendapat bantuan pemerintah. Saat ini ada BLT, KPH DD dan ADD, kami disini tidak pernah marasakan itu,” beber Justin yang juga seorang pengacara itu.

Justin mengaku, warga di negerinya sudah lama menjadi penonton, hanya bisa melihat negeri-negeri tetangganya menerima bantuan dari pemerintah, karena ambisi penguasa dalam sengketa wilayah, sehingga banyak hak-hak warga tidak dapat terpenuhi, termasuk hak politik.

“Jangankan ada wabah corona, sudah lama kami disini merasakan ketidakadilan itu, akibat adanya sengketa wilayah,” bebernya pilu.

Seperti diketahui, sengketa batas wilayah antara Kabupaten Malteng dan Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) sudah terjadi sejak 2009 dan sampai dengan tahun 2020 tak kunjung selesai.

Tarik menarik terkait satus hukum di wilayah terseut disebabkan Pemerintah Kabupaten Malteng mempertahankan Putusann MK 123/PUU/VII/2009. Sedangkan Pemerintah Kabupaten SBB tetap mempertahankan keputusan Permendagri No. 29 Tahun 2010 (dhino pattisahusiwa)