Jangan Remehkan Stunting

Oleh : Dyah Tari Nur’aini, SST (Statistisi Pertama BPS Kolaka, Sulawesi Tenggara)
Mengukur tidak hanya perkara angka saja. Tetapi efek dari hasil pengukuran itulah yang diambil manfaatnya. Sebagai masyarakat awam, kata mengukur mungkin harus memiliki satuan semacam meter ataupun sentimeter. Namun satuan tersebut tidak bisa menggambarkan baik atau buruknya sesuatu yang diukur.
Ketika mengukur sesuatu, pasti diperlukan alat ukur. Sesuatu yang mudah untuk diukur tentu juga memiliki alat ukur yang sederhana. Seperti mengukur panjang kain, menggunakan penggaris.
Mengukur berat beras menggunakan timbangan. Pun sebaliknya, sesuatu yang kompleks pasti juga memiliki alat ukur yang tidak mudah untuk dihasilkan. Apalagi yang diukur adalah persepsi. Dalam hal ini adalah seberapa baik penanganan stunting pada suatu wilayah.
Stunting adalah salah satu masalah utama perihal ketidakcukupan gizi, dimana seseorang memiliki tinggi badan yang jauh lebih pendek dari tinggi badan orang seusianya.
Hal ini dimulai dari ketika bayi dalam kandungan yang tidak mendapatkan asupan gizi yang rendah. Dilanjutkan ketika masa balita dengan gizi pangan yang tidak seimbang.
Tidak main-main, hal ini berdampak langsung pada pertumbuhan anak yang lebih pendek hingga berakibat pada perkembangan otak yang lambat hingga sulit dalam belajar.
Tentunya hal ini berdampak pada ketidakmampuan dalam persaingan kerja saat menginjak usia yang produktif. Jika ditambah pola hidup yang tidak sehat, maka akan rentan juga terjangkit penyakit degeneratif saat usia tua.
Stunting menjadi tantangan tersendiri yang cukup berat bagi Indonesia. Mengingat berdasarkan pernyataan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa tahun 2030 diprediksi akan terjadi bonus demografi, dimana usia produktif (15-64 tahun) akan mendominasi kependudukan hingga 64 persen.
Hal ini bukannya menjadi sebuah peluang, namun justru menambah beban jika tidak dibarengi dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Banyaknya anak stunting menjadi salah satu penghambat di masa depan, dimana momen bonus demografi bisa tidak termanfaatkan dengan baik.
Dampak yang serius dari stunting sudah seharusnya menjadi perhatian yang besar oleh pemerintah. Permasalahan diatas merupakan permasalahan yang multidimensional.
Tidak hanya menyangkut kemiskinan saja, melainkan pola asuh, pemenuhan gizi, ketersediaan pangan, sanitasi, serta pendidikan. Jumlah stunting pada balita di Indonesia berada pada angka 30,8 persen di tahun 2018.
Meskipun angka tersebut mengalami penurunan sejak 5 tahun kebelakang, namun angka tersebut masih tergolong tinggi dan melebihi batas aman World Health Organization (WHO), yakni 20 persen atau seperlima dari jumlah total anak balita.
Angka stunting tertinggi di Indonesia terjadi di Provinsi NTT yaitu mencapai angka 57,3 persen. Sayangnya Sulawesi Tenggara menempati posisi ke 5 dengan angka stunting yang tinggi, yakni sebesar 48,8 persen di Kabupaten Buton Tengah masa emas pencegahan stunting adalah pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Maka pencegahan yang baik adalah sejak masa kehamilan, yakni rutin memeriksa kehamilan ke petugas kesehatan serta mengkonsumsi suplemen yang dibutuhkan, terutama pil zat besi.
Data BPS berdasarkan Susenas 2016 menyatakan bahwa masih sekitar 32,59 persen anak lahir hidup yang diberikan pemeriksaan saat di kandungan dengan jumlah lebih dari 3 kali, sementara banyaknya ibu yang memperoleh pil zat besi selama masa kehamilannya sebesar 86,17 persen.
Lalu setelah bayi lahir, pemberian asi eksklusif, gizi yang seimbang, serta pola asuh yang baik menjadi amat penting guna tumbuh kembang anak. Kegagalan orang tua merawat anak masa ini mengakibatkan kegagalan bagi diri anak dimasa yang akan datang.
Maka penyuluhan dan pemberian informasi bagi para orang tua menjadi kunci dalam memberantas stunting. Tentunya perlu ada perencanaan yang baik dan penganggaran dana yang tidak sedikit dalam mengatasi stunting.
Pemberian penyuluhan harus bisa menyeluruh pada masyarakat yang dituju, baik itu pemberian pengetahuan akan kesehatan dan gizi maupun pola hidup bersih.
Tentunya penyuluhan saja tidak cukup, pemerintah perlu memastikan bahwa ibu hamil dan anak balita memperoleh gizi yang dibutuhkan dengan pemberian makanan dan suplemen pada daerah-daerah dengan prevalensi angka stunting yang tinggi.
Selain itu, anggaran daerah agaknya perlu diprioritaskan untuk pemberantasan stunting. Hal ini terutama guna menambah alokasi pendanaan pembuatan infrastruktur air bersih dan sanitasi yang layak.
Tujuannya adalah memberikan akses yang baik dalam memperoleh air bersih dan pembiasaan hidup sehat dengan kebiasaan mencuci tangan dan buang air secara sehat. Mengingat berdasarkan data BPS masih ada sekitar 27,96 persen rumah tangga di Indonesia yang belum memiliki akses air bersih dan sanitasi yang layak.
Oleh karena itu, BPS juga telah menyiapkan alat ukurnya berupa indeks. Indeks Khusus Penanganan Stunting (IKPS) dapat mengukur seberapa baik penanganan stunting di suatu wilayah.
Nilainya berkisar antara 0 sampai dengan 100. Enam dimensi penyusun disiapkan untuk memperkokoh alat ukur. Diantaranya kesehatan, gizi, perumahan, pangan, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Pemerintah perlu menaruh perhatian lebih pada dimensi kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial dikarenakan ketiga dimensi tersebut mengalami penurunan di tahun 2019 dibanding tahun sebelumnya.
Terlebih pada dimensi pendidikan dan perlindungan sosial yang memiliki nilai indeks yang rendah yakni masing-masing 41,03 dan 30,8, dimana indeks lainnya memiliki nilai diatas 70.
Hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan fasilitas dan kualitas dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) serta Program Jaminan Kesehatan. Hingga tahun 2019, Provinsi Sulawesi Tenggara masih konsisten menjadi peringkat terbawah dengan capaian nilai IKPS terendah dibanding provinsi lain di Sulawesi.
Nilai IKPS Sulawesi Tenggara yakni sebesar 61,66 yang cukup jauh dibandingkan standar IKPS nasional sebesar 66,08. Melihat data tersebut, pemerintah Sulawesi Tenggara tentunya butuh kerja keras untuk bisa menekan angka stunting.
Hal ini tidak hanya guna menyelamatkan balita-balita yang ada dari ancaman stunting, namun juga guna meningkatkan kualitas masyarakat demi kemajuan daerah (*)