BERITABETA.COM, Ambon – Nyaris punah dari penggunaannya oleh  masyarakat lokal di Maluku, Kamboti (wadah yang terbuat daun kelapa/ sagu) sebagai tempat menampung hasil panen petani tradisional, kembali digunakan.

Belum lama ini,  Klasis Gereja Protestan Maluku (GPM) Pulau-pulau Lease memperkenalkan Kamboti sebagai tempat sampah dalam sebuah kegiatan gereja yang dihelat di Kecamatan Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng). Penggunaan Kamboti merupakan bagian dari  program kampanye pelestarian lingkungan terhadap warga gereja di sejumlah negeri.

Ketua Klasis GPM Pulau-pulau Lease, Pdt. Isak Sapulette kepada beritabeta.com melalui saluran telponnya, Rabu (17/7/2019) mengatakan, tema  besar dalam program ini adalah “Revitalisasi Kearifan Lokal Untuk Pengelolaan Isu Lingkungan,”. Program ini bukan hanya terfokus pada jemaat GPM di Pulau Lease, namun melibatkan seluruh negeri di pulau-pulau Lease.

Menurut Sapulette,  program yang dimotori Klasis GPM Pulau-pulau Lease ini sudah tiga tahun berjalan berkat kerjasama dengan Yayasan “Happy Green Island” dan Fakultas Teknik Universitas Pattimura (Unpatti), Ambon.  

“Penggunaan Kamboti sebagai tempat sampah merupaan sebuah untuk upaya  mengurangi penggunaan plastik yang selama ini banyak menjadi biang pencemaran lingkungan,” ungkapnya.  

Untuk mewujudkan, program pelestarian lingkungan itu, Klasis GPM Pulau-pulau Lease, secara umum telah mengampanyekan kepada semua negeri di Pulau Saparua, Haruku dan Nusalaut melalui program aksi di lapangan.

Bunga pelastik yang terbuat dari bekas bortol air mineral menjadi hasil karya yang unik

“Jadi yang pertama itu edukasi berupa sosialisasi, kemudian berlanjut dengan gerakan menghidupkan kembali penggunaan bahan-bahan yang ramah lingkungan dan muda terurai, salah satunya adalah kamboti sebagai tempat sampah itu,”katanya.

Sapulette mengatakan,  selama tiga tahun ini sudah ada dampak yang dirasakan terhadap kampanye-kampanye lingkungan yang dilakukan. Antaranya, masyarakat di beberapa negeri tidak lagi membuang sampah ke laut, kemudian penggunaan air mineral dalam kemasan juga sudah berkurang.

“Ini dapat dibuktikan dengan menurunnya pasokan atau distribusi produk air mineral. Khusus di Kecamatan Saparua, bisa dibuktikan dengan pengakuan yang disampaikan distributor terkait penurunan peminat atau pembelinya” urainya.

Sapulette mengatakan, pergerakan untuk mewujudan keberhasilan program lingkungan ini juga dilakukan dengan sejumlah kegiatan bakti, berupa  pemberisihan lingkungan dari sampah dan juga memaksimalkan penggunaan bahan-bahan alami dalam setiap kegiatan gereja.

“Kalau ada kegiatan gereja kami tidak lagi menggunakan air mineral dalam kemasan. Begitupun untuk kemasan makanan kita arahkan untuk menggukan bahan-bahan alami, misalnya daun dan sebagainya,” bebernya.

Intinya, kata Sapulette  ada tiga hal yang menjadi dasar dari pergerakan peduli lingkungan ini yakni, mengurangi penggunaan plastik atau bahan sejenisnya, menggunakan kembali bahan-bahan alami yang sering digunakan di zaman dulu dan mendaur ulang plastik.

“Untuk proses daur ulang, saat ini kita lagi mendesain sebuah teknologi pengolahan. Sedangkan pengurangan dan pemanfaatan kembali sudah jalan dan sudah menunjukan hasil,” jelasnya.

Salah satu negeri yang dianggap berhasil dalam program ini yakni Negeri Ihamahu, Kecamatan Saparua Timur. Sapulete menambahkan, di Negeri Ihamahu, sangat tampak pola kebersihan lingkungan yang diterapkan. Mulai dari kebersihan pekarangan rumah, penggunaan tempat sampah hingga pemanfaatan bahan-bahan yang ramah lingkungan.   

Semua ini, tambahnya, karena adanya dukungan dari Pemerintah Negeri Ihamahu yang begitu maksimal.

 “Jadi harapnnya kedepan aka nada peraturan negeri yang kita dorong untuk memuat isu-isu lingkungan seperti ini. Dan memang yang kita butuhkan adalah keterlibatan semua pihak,” tandasnya (BB-DIO)