Kasus BNI, Banyak Oknum Terseret Sebagai Pelaku

(Telaah Ajaran Delneming/Penyertaan)
Oleh : Jermias Rarsina (Advokat & Dosen Hukum UKI Paulus Makassar)
DALAM hukum pidana pemufakatan jahat terdiri dari berbagai bentuk atau corak. Hal itu tidak terlepas dari ajaran hukum pidana tentang delneming (penyertaan) sebagaimana dirumuskan dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 dan 56 KUH pidana yang banyak dikemukakan oleh para ahli hukum pidana. Namun untuk pasal 56 KUH Pidana penekanannya lebih pada pengertian sebagai pembantuan.
Dalam ajaran delneming yang dirumuskan dalam kedua pasal pidana tersebut, mengklasifikasikan 5 (lima) peran pembuat sebagai pelaku, yang terdiri dari; orang yang melakukan (Dader/Pleger), orang yang menyuruh melakukan (Doenpleger/Manus Domina), orang yang turut melakukan (Mededader), orang yang membujuk/menganjurkan (Uitlokker) dan orang yang membantu melakukan (Medeplichtige).
Semua perbuatan pelaku dalam ajaran delneming pada prinsip pertanggung jawaban pidana tidak terlepas pula dengan perbuatan bersifat unsur kesengajaan (Opzet or intention) atau kealpaan/kelalaian (Culpa).
Mencermati dan menanggapi secara hukum tulisan berita media online Spektrum tanggal 9 Juli 2020 dan beberapa berita terdahulu, diungkapkan bahwa ada oknum yang bernama Hasan Slamet menampung uang kejahatan dari terdakwa Soraya Pelu.
Kemudian, Abdul Manaf Tubaka dosen di IAIN Ambon ikut menikmati hasil kejahatan dari pelaku utama terdakwa Faradiba. Jhoni de Queljoe alias Siong yang bukan nasabah BNI namun ikut melakukan transaksi uang hasil kejahatan tersebut. Dan nasabah lain (pemilik rekening) di Kota Makassar juga ikut menerima tranferan uang hasil kejahatan.
Mereka kesemuanya wajib menurut hukum pidana bertanggung jawab atas masuknya dana/uang ilegal tersebut, baik dalam aliran rekening bank ataupun karena turut menikmati uang/dana tersebut yang adalah hasil kejahatan.
UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU pada pasal 3, 4 dan 5 ayat (1) secara otomatis berlaku sebagai delik formiil kepada para pelakunya sebagai kasus pencucian uang.
Pasal-pasal tersebut, terdapat salah satu unsur pidana alternatif yaitu pada kata “patut diduga” harta kekayaan diperoleh dari hasil tindak pidana (kejahatan). Yang bisa diuji dengan ajaran delneming dan berhubungan pula dengan tanggung jawab pidana berbuat dalam arti unsur perbuatan sengaja (Dolus) atau Culpa.
Dalam praktek hukum pidana untuk menentukan pelaku dalam kategori ajaran delneming (penyertaan) itu sangat tergantung pada kasusnya.
Arti dari unsur pidana Dader/Pleger diartikan pelaku langsung. Sedangkan unsur pidana orang yang menyuruh melakukan diartikan sebagai dader/pelaku tidak langsung, tetapi menggunakan orang lain untuk melakukan delik sebagai maksud dan tujuan tercapainya perbuatan. Hal itu yang sering disebut sebagai intelektual dader (pelaku intectual).
Antara kedua unsur tersebut dianggap terpenuhi, apabila maksud dan tujuan kejahatan yang dirancang oleh pelaku intelektual kepada pelaku langsung dilaksanakan hingga tercapainya delik.
Disinilah muncul peran terdakwa Fariba selaku pelaku utama. Apakah sebagai intelectual dader (pelaku intelektual) yang mengatur kejahatan terhadap pelaku langsung dalam hubungan dengan pelaku lainnya sesuai ajaran delneming/penyertaan?
Sampai sekarang ini masih berlangsung pembuktiannya di persidangan. Walaupun demikian, yakin bahwa majelis hakim sudah punya penilaian hukum tersendiri mengenai fakta persidangannya.
Begitu pula unsur pidana uitloker (orang yang membujuk) adalah perbuatan yang menggerakan orang lain untuk melakukan kejahatan atau sesuatu perbuatan terlarang. Sedangkan membantu melakukan (Medeplichtige) berarti delik dilakukan karena sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Ajaran delneming berupa “unsur turut serta melakukan” ini yang banyak dalam praktek peradilan pidana pada putusan hakim. Turut serta melakukan berarti bersama-sama melakukan atau setidaknya harus ada 2 orang. Yaitu orang yang melakukan (Dader/pleger) dan orang yang turut melakukan (Mededader).
Biasanya unsur orang yang turut melakukan (Mededader) dalam pandangan para ahli hukum memberi petunjuk akan cara perbuatan tersebut dilakukan. Antara lain, harus ada kerja sama secara fisik dan memiliki kesadaran atau keinsyafan dalam kerja sama tersebut untuk mencapai maksud dan tujuan.
Jika menyimak dan mengkaji hasil persidangan sesuai berita media online Spektrum, terungkap fakta persidangan keterlibatan Faradiba, Soraya Pelu, Manaf, Hasan Slamet, Jhoni de Queljoe alias Siong dan nasabah lain di Makassar penerima transfer.
Mereka dalam kapasitas ada yang menerima, memperoleh transferan dan menikmati uang/dana hasil kejahatan pembobolan dana nasabah Bank BNI di Maluku. Kesemuanya tidak bisa keluar dari jeratan hukum dalam hubungannya dengan ajaran delneming (penyertaan).
Dalam kasus Bank BNI terdapat hubungan hukum diantara mereka para pelaku. Baik ada yang menerima aliran dana dalam rekening maupun menikmati hasil kejahatan dalam bentuk belanja berlian dan mobil mewah, sebagaimana berita media online spektrum.
Hal itu menunjukan secara hukum terdapat hubungan keadaan kausal yang menyertai perbuatan mereka baik keadan kontak fisik yang menuju kepada kuatnya (kentalnya) perbuatan kerja sama hingga tujuan delik dapat tercapai.
Belum lagi jika perbuatan dikaji dari unsur sengaja. Mungkin mereka bisa mengelak sama sekali tidak sengaja dalam niat/maksud. Tetapi setidaknya unsur sengaja sebagai menginsyafi kemungkinan akan timbulnya kejahatan. Atau kelalaian atas perbuatan mereka dalam hubungannya dengan unsur pidana pada kata “patut di duga”.
Unsur pidana tersebut dalam hubungannya dengan fakta persidangan, bahwa ada rekening yang ditransfer bermilyar rupiah. Dimana harusnya pemilik rekening menyadari atau setidaknya menginsyafi kemungkinan rekeningnya tersebut dipakai untuk berstransaksi kejahatan.
Perbuatan mereka dalam pertanggung jawaban pidana sangat sulit untuk keluar dari jeratan hukum dalam ajaran delneming. Apalagi Jaksa PU telah mengunci hukumnya dengan memberlakukan UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (Kejahatan Pencucian Uang) yang di dalamnya terdapat delik formil pada pasal 3, 4 dan 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Dalam ajaran delneming, mereka yang memberi rekening untuk menerima atau memperoleh transferan uang dan/atau yang menikmati kekayaan (belanja berlian dan mobil mewah) dari hasil kejahatan pada kasus BNI dimaksud, cukup beralasan dapat didudukan di meja hijau untuk mempertanggung jawabkan perbuatan pidana mereka.
Penulis menyadari bahwa pemeriksaan hakim dipersidangan tidak bisa dianulir dengan opini hukum, namun harus didasari pada fakta persidangan. Akan tetapi dengan tulisan ini minimal publik bisa mengetahui dan memahami bahwa, ajaran hukum pidana tentang delneming/ penyertaan dapat digunakan untuk menentukan siapa saja sebagai pembuat (pelaku dalam arti luas) dalam pertanggung jawaban pidana pada kasus Bank BNI di Maluku yang sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Ambon (***)