Catatan : Dahlan Iskan

Wartawan itu bisa saja salah. Yang penting wartawan harus sadar mesti berbuat apa ketika tahu salah. Saya ingin terus mengampanyekan itu. Prinsip itulah yang bisa dipakai untuk mengetahui ini: si wartawan punya niat baik atau tidak ketika melancarkan kontrol sosial.

Kalau wartawan tidak mau mengoreksi tulisannya yang salah berarti memang ada niat tidak baik di balik tulisan itu. Saya tidak ingin kian banyak orang kecewa pada kualitas jurnalisme.

Seperti yang dialami Prof Dr Effendi Gazali. Ia ahli komunikasi terkemuka Indonesia. Ia juga pengajar mata kuliah jurnalistik. "Kekecewaan saya sampai 9,5," katanya.

Saya memang bertanya kepadanya: dari 1-10, di skala berapa kekecewaannya itu. Begitu tinggi. Hampir kecewa total. Sampai-sampai ia benar-benar menanggalkan gelar profesornya.

Baru kali ini terjadi di Indonesia: seorang profesor mencopot gelarnya sendiri lantaran kecewa pada bidang ilmunya. Ia merasa gagal mengajar jurnalisme. Ia merasa tinggal sangat sedikit wartawan yang masih baik.

Saya mencatat banyak kekecewaan yang dialami Effendi Gazali dalam hidupnya. Tahun lalu ia kecewa karena gugatannya ke Mahkamah Konstitusi ditolak.

Ia ingin pencalonan presiden tidak dibatasi kepemilikan kursi di parlemen. Ia ingin siapa saja bisa diusung partai-apa-saja menjadi calon presiden.

Kekecewaannya mencapai 9,95. Mepet batas atas. Padahal ia serius banget memperjuangkan itu. Demi demokrasi.

Effendi juga pernah kecewa pada almamaternya sendiri: Universitas Indonesia. Yakni terkait dengan kualitas calon rektor pada saat itu. Ia sampai bergabung ke dalam gerakan #SaveUI.

Tingkat kekecewaannya saat itu: 8. Angkanya tidak sampai 9. Ia tidak sekecewa terhadap jurnalisme dan Mahkamah Konstitusi.

Padahal gara-gara itu ia tidak bisa menjadi profesor di UI. "Gak jadi profesor kan tidak apa-apa. Dr Imam B. Prasojo juga belum diangkat menjadi guru besar. Padahal ia lebih layak dari banyak yang sudah jadi profesor," katanya.

Ada satu lagi kekecewaan Effendi Gazali. Semoga istrinya tidak membaca /Disway/ hari ini. Ia pernah kecewa ditinggal pacarnya. Nilai kekecewaannya –saat itu– mencapai 9. Pacarnya itu wanita Amerika. Kulit putih. Blonde. Sudah 3,5 tahun menjalin cinta.

Si cewek pernah tiga kali ke Indonesia. Dia sempat diajak berkunjung ke UI. Dia kaget melihat banyak orang naik kereta api di atas atap gerbong.

Dia prihatin melihat begitu banyak pengemis di pinggir jalan. Dia merasa tidak bisa hidup di Indonesia. "Dia terlalu rasional," kata Effendi.

Maka jadilah Effendi jomblo berkepanjangan. Intelektual tapi jomblo. Jomblo tapi intelektual.

Ia pun masuk grup jomblo berkualitas. Jodohnya baru ketemu ketika ia berumur 42 tahun. Yakni Hikmah Ridho Ali Alatas. Umurnya sama --hanya angkanya dibalik. Ia keluarga Shihab yang juga keluarga Alatas.

Kekecewaannya yang 9 itu sudah lama lenyap. Kini istrinya itu menjadi sumber kebahagiannya. Angka kebahagiaan itu mencapai 9,96. Melebihi kebahagiannya menjadi bintang acara TV Republik Benar Benar Mabuk (9,95), menjadi pelawak /stand up comedy/ (8,5), dan menulis (9,5).

Ia berseloroh lebih bahagia ketika membaca /Disway/ daripada menulis karya jurnalisme. Ia pernah jadi wartawan mingguan Bola, grup Kompas.

Memang banyak orang kaget ketika Effendi tampil di TV. Terutama ketika ia bicara soal benur dan lobster.

Tidak banyak yang tahu kalau Effendi itu anak nelayan. Masa kecilnya bergelut dengan ikan dan udang. Yakni di kampung kelahirannya, Parak Nipah –di Muaro Padang.