Layanan Kesehatan yang Humanis Dalam Bayang-bayang Phobia Corona
Oleh : Lusi Peilouw (Aktivis LSM dan Pemerhati Sosial)
KAMIS terakhir di bulan Juni kemarin adalah kamis yang akan selalu kukenang. Sejak subuh hujan tidak henti mengguyur Kota Ambon, dibarengi angin kencang dari arah timur. Maklum, ini musimnya.
Matahari seperti hilang kuasanya, kalah pada mendung. Baru menjelang sore hujan mereda, namun tidak demikian dengan angin. Jadi sore itu tetap dingin sekali. Sejak malam sebelumnya saya sudah punya janji dengan seseorang untuk sebuah perjumpaan istimewa di masa pandemi ini, di sore hari. Pada saat membuat perjanjian itu, saya sanggupkan bahwa bagaimana pun cuaca besok, saya akan datang.
Rupanya semesta demikian mengasihi kami. Tanpa mendung apalagi hujan, saya bisa memenuhi janji saya tepat pada waktu yang telah disepakati. Jadilah, saya menghabiskan sisa sore menjelang magrib di hari itu bersama seorang perempuan, yang demi menjadi kenyamanannya, saya memberinya nama di sini: Edelweis.
Mengapa Edelweis? Kemampuan Edelweis hidup di daerah tandus dan gersang, membuat orang mengaguminya sebagai symbol perjuangan. Mahkluk Tuhan yang memberikan keindahan di tengah kesukaran. Saya pun pengangumnya. Seperti itu pulalah sosok perempuan teman baru saya itu.
Edelweis terlahir dari keluarga sederhana, menikah pun dengan lelaki sederhana yang sehari-hari bekerja di Pasar Ikan. Ketika kami berjumpa, Edelweis baru saja melahirkan anak keduanya, setelah melewati perjuangan yang teramat berat.
Perjuangan yang membawa kami pada titik perjumpaan itu, bukanlah tentang bagaimana Edelweis berjuang menahan sakit di koridor rumah sakit, mondar-mandir menunggu pintu rahim cukup membuka, lalu mengejangkan sekujur tubuhnya di meja persalinan untuk mengeluarkan bayi kehidupan baru dari rahim!
Bukan! Tetapi tentang kejamnya Rumah Sakit menolaknya! Bukan hanya oleh satu Rumah Sakit, tetapi lebih. Bukan hanya dalam satu hari dan satu kali perjalanan. Tetapi selama tiga hari.
Riwayat Berurusan dengan Rumah Sakit
Hari pertama, yakni tanggal 15 Juni 2020, berbekal pengantar dari dokter spesialis yang menanganinya selama masa kehamilan, Edelweis mendatangi RS. Dr. Latumeten (di Ambon lebih dikenal dengan nama Rumah Sakit Tentara atau singkatnya RST), tempat di mana anak pertamanya dilahirkan.
Sebagaimana prosedur tetap di setiap RS, Edelweis harus menjalani RAPID Test. Beberapa saat menunggu, datang petugas menyampaikan bahwa hasilnya positif. Hanya dengan keterangan lisan tanpa menunjukkan lembaran kertas atau apapun sebagai bukti pemeriksaan.
Petugas itu memintanya untuk ke RSUD Haulussy yang adalah RS rujukan pasien terkonfirmasi COVID-19. Entah apa alasannya, petugas di RST tidak memberikan keterangan itu. Di sinilah awal seorang perempuan yang membawa nyawa lain di rahimnya dipingpong oleh buruknya sistem layanan rumah sakit.
Mengikuti saja apa kata petugas di RST, Edelweis mendatangi RSUD Haulussy. Setibanya di sana, Edelweis menjelaskan riwayat perjuangannya dari RST, dan seperti yang dikhawatirkan, petugas meminta surat keterangan hasil rapid dari RST. Lihat! Bagaimana buruknya layanan di RST?
Suami Edelweis sempat kembali ke RST untuk memintanya, namun tetap tidak diberikan. Akhirnya, sekali lagi Edelweis harus mengulurkan tangannya kepada petugas untuk diambil sampel darah. Hasilnya menunjukan non-reaktif atau negatif. Karena hasil rapid yang demikian, RSUD menyarankan untuk tidak menjalani rawat inap di situ, mengingat di RS ini adalah RS perawatan bagi pasien COVID 19.
Tanpa jeda panjang, malamnya Edelweis menemui dokter spesialisnya, yang kemudian menyarankannya untuk pergi RS Al-Fatah. Edelweis pun mengikuti arahan dokter, keesokan harinya, pagi-pagi benar Edelweis mendatangi RS Alfatah. Di situ, Edelweis mesti kembali menjalani rapid test.
Sempat menolak dan meminta untuk menggunakan saja hasil test dari RSUD Haulussy, namun tidak berhasil. Dengan kesal Edelweis mengulurkan tangannya kepada petugas untuk mengambil sampel darah. Apapun terpaksa dituruti asalkan mendapatkan layanan dan segera bisa melahirkan bayinya yang sesungguhnya harus dilakukan pada tanggal 12 Mei.
“Beta punya masalah kesehatan, jadi tidak bisa melahirkan secara normal, makanya biar sakit hati tapi beta jalani semua saja..” tuturnya.
Sampel darahnya yang telah diambil, diperiksa sebanyak 2 kali. Hasil pemeriksaan pertama tidak terbaca dengan jelas alias samar-samar, maka dilakukan pemeriksaaan kedua, yang menurut mereka hasilnya reaktif. Berdasarkan hasil itu, petugas mengarahkannya untuk kembali ke RSUD Haulussy karena cuma di situ pasien yang hasil rapid test-nya reaktif bisa mengakses layanan.
Merasa akan lelah dengan semua proses panjang yang telah dilalui karena rapid, Edelweis berinisiatif untuk melakukan Swab Test. Petugas RS menyarankan untuk ke Puskesmas dekat rumahnya, yakni Puskesmas Rijali.
Menurut mereka, di Puskesmas yang sempat ditutup juga selama 14 hari beberapa waktu lalu itu memiliki fasilitas untuk Swab Test. Lagi-lagi menuruti saja apa kata petugas RS. Ternyata, Puskesmas tersebut tidak memiliki fasilitas itu sama sekali.
Pulanglah dia dengan kecewa bercampur marah di dada. Sementara seluruh badan terutama di rahimnya didera rasa sakit yang tak terkatakan. Edelweis tidak diam. Dia langsung menelpon dokternya, meminta kepastian dan sekali lagi memelas minta bantuan dan ketegasan dokter untuk memfasilitasinya ke RS.
Riwayat panjang diping-pong sana-sini sejak 2 hari kemarin itu ditutur dengan perasaan bercampur-aduk. Pada situasi itu barulah dokter bertindak cepat dan (mungkin lebih tegas) meminta fasilitas RSUD Haulussy.
Edelweis lalu menuju RSUD Haulussy dan dilayani dengan protap pasien suspect COVID-19 sejak masuk, yakni melalui pintu yang diperuntukkan bagi mereka yang terkonfirmasi positif.
Menurutnya, sangat tidak nyaman melewati jalur itu. Namun tidak ada pilihan, bayinya harus lahir sesegera mungkin, maka dengan ikhlas ia jalani semuanya. Tak lama, pukul 10.00 malam di hari itu juga bedah caesar dilakukan. Edelweis melahirkan seorang putri cantik.
Besoknya, 19 Juni, Edelweis menjalani test PCR. Tiga hari kemudian, 21 Juni, bayinya boleh pulang bersama ayak dan nenek yang setia menemani di sepanjang perjuangan panjang mereka. Sedangkan Edelweis harus menunggu sampai hasil PCR-nya keluar. Syukur alhamdulilah, 24 Juni hasil PCR keluar dan Edelweis dinyatakan negative COVID 19.
Beban Stigma di Tengah Perjuangan
Panjang yah, ceritanya. Membaca dan mengikuti alurnya mungkin melelahkan. Kiranya anda pun bisa merasakan bagaimana lebih lelah dan menderitanya Edelweis melewati perjuangan yang panjang itu.
Perempuan hamil tua menunggu melahirkan harus bolak-balik dari rumahnya ke rumah sakit yang satu ke yang lain, ke dokter, ke RS lagi, ke Puskesmas. Bertemu petugas dengan berbagai alasan penolakan. Menguras energi untuk memberi penjelasan, berargumentasi, memelas, memberi tangan ditusuk berkali-kali, memohon ini itu.
Naik turun mobil angkutan umum dan ojek, tidak dengan tangan kosong tapi sekalian menenteng perlengkapan opname untuk diri sendiri maupun bayinya, di tengah cuaca hujan angin musim ini. Perjuangan yang tidak main-main.
Belum lagi, ketika keluar hasil rapid dari RST yang menyatakan positif. Entah bagaimana ceritanya kabar hasil test itu tersiar luas di kompleks tempat tinggalnya. Maka stigma miring “positif corona” pun langsung menghujamnya tanpa ampun. Seolah dia sedang menghamburkan aib ke muka bumi. Tidak hanya di dunia nyata, dalam sekejap tangan-tangan netizen menggunjingkan Edelweis di jagad maya. Berbesar hati Edelweis menerima semuanya.
Perjuangan seorang perempuan antara mati dan hidup yang semestinya didukung dengan empati, justru menjadi semakin berat oleh karena beban penghakiman dari publik. Entah si corona yang jahat, atau manusia yang terlalu bejad secara sosial dan anti kemanusiaan.
Apa yang kurang?
Ini pertanyaan menarik dan menyentak dari perjuangan seorang Edelweis mendapatkan layanan Rumah Sakit. Apalagi Edelweis bukan yang pertama. Sebelumnya, di bulan Mei, terpublikasi setidaknya 4 kasus penolakan pasien, satu diantaranya yang mengakibatkan meninggalnya bocah malang bernama Rafadan.
Menjawab pertanyaan di atas, menurut saya, kita punya 2 kekurangan. Yang pertama adalah belum terbangun kanal koordinasi lintas Rumah Sakit. Andai Dinas Kesehatan Provinsi Maluku bisa membuat sistem data terpusat lintas rumah sakit, peristiwa pingpong – mempingpong orang sakit dan perempuan melahirkan tidak perlu terjadi.
Hal keduanya, sense of emergency atau sense of crisis belum terinternalisasi dalam manajemen rumah sakit. Kepekaan pada situasi kritis apalagi perempuan dan anak sangat memprihatinkan dan membahayakan jiwa. Ketimbang membiarkan perempuan hamil tua naik turun angkot atau ojek, mungkin dengan air ketuban yang sudah mulai meleleh, kenapa tidak kalian petugas rumah sakit yang berkomunikasi dengan rumah sakit lainnya, mencari solusi. Bukan sekedar menjawab: kami tidak bisa terima, silahkan ke sana dan ke situ.
Sebagai institusi kemanusiaan, Rumah Sakit tidak boleh sekedar menjalankan kerjanya sebagai business as usual. Toh, di masa pandemi ini, kalau ada alternatif lain, saya yakin orang tidak ingin minta layanan ke Rumah Sakit.
Tolonglah berbenah. Jangan terus terjebak di bayang-bayang Phobia Corona hingga hilang sisi humanismu. Mohon, jangan ada lagi kasus penolakan berikutnya (***)