Catatan : Dhino Pattisahusiwa

Sejarahnya panjang berliku. Namun rasa-nya tak pernah lekang oleh waktu. Inilah minuman khas yang melegenda hingga berabad-abad. Siapa sangka, kopi sebutan orang untuk jenis minuman ini, memiliki cerita yang panjang hingga menjadi minuman favorit sepanjang masa.

Menilik sejarah keberadaan kopi pastinya kita akan dipertemukan dengan kisah para ulama dan tradisi meneguk apa yang disebut qohwah itu. Bahkan dalam catatan  Fahri Rizal seorang mahasiswa lulusan Yaman, sempat mengkutip sebuah pernyataan dari Al-Imam Ibnu Hajar dalam salah satu kitabnya yang berbunyi :

”Lalu ketahuilah duhai hati yang gelisah, bahwa kopi ini telah dijadikan oleh ahli shofwah (Orang-orang yang bersih hatinya) sebagai pengundang akan datangnya cahaya dan rahasia Tuhan, penghapus kesusahan”.

Seperti itu, keberadaan kopi di mata para ulama. Kopi sendiri dalam sejarahkan disebutkan ditemukan di Abyssinia (sekarang Ethiopia). Bermula dari cerita anak pengembala bernama Kaldi.

Di suatu senja, Kaldi  seperti biasa menjalankan rutinitasnya mengembalakan kambing. Ia  terkejut penuh sumringah melihat hewan piaraan-nya menjadi lahap menyantap biji-bijian yang oleh masyarakat setempat disebut ‘bun’.

Temuan itulah kemudian menjadikan bun atau kopi sebagai primadona.   Orang-orang  Yaman  yang pertama membudidayakan kopi. Kala itu, pada abad 13, kelompok sufi Shadhiliyya mengenal kopi dari para penggembala di Ethiopia.

Ketika kelompok sufi yang lahir di Yaman ini kembali ke tanah air, mereka membawa serta bibit-bibit bun. Di Yaman, minuman yang sehitam malam ini dikenal sebagai qohwah.

Istilah ini awalnya dipakai untuk wine. Karena itu pula, kopi dijuluki sebagai “The Wine of Islam”. Sebab, mengisahkan kopi punya kaitan erat dengan peradaban Islam.

Kala itu qohwah dipercaya bisa membuat orang kuat melek. Kopi kemudian dipakai sebagai teman untuk berzikir dan beribadah hingga subuh. Kata qahwa pula yang kemudian diserap menjadi coffee, cafe, maupun kopi.

Sejak saat itu, qohwah merupakan salah satu minuman yang paling disukai oleh Ulama Yaman, khususnya dikalangan para masyayikh, habaib Alawiyyin dan Syadziliyah di Hadramaut. Selain aroma dan rasanya yang nikmat, kopi juga memiliki cita rasa sangat khas di lidah setiap penikmatnya.

Para penikmat kopi di Turki misalnya sampai membuat sebuah pepatah yang populer dikenal selama ini yakni,  'Coffee should be as black as hell, as strong as death and as sweet as love (kopi seharusnya hitam sekeras, sekuat kematian dan manis seperti cinta).

Tradisi di Turki, kopi selalu disajikan setelah acara makan, dan dituangkan dari panci tembaga panjang yang dikenal dengan nama cezve.

Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa kopi menyebar bersama Islam. Pokoknya, kemana Islam pergi, ke sana pula kopi ikut. Ketika agama ini merentangkan pengaruhnya ke Turki, negara-negara Balkan, Spanyol, dan Afrika Utara, kopi dapat ditemukan di sana. Beberapa sumber bahkan menyebutnya sebagai "minuman Islam”.

Namun hingga abad ke-15 tak ada bibit kopi yang menyebar. Bangsa Arab yang sadar arti penting kopi sebagai komoditas, memonopoli peredaran kopi dengan mencegah peredaran bibit kopi ke luar daerah Arab.

Kebun-kebun kopi dijaga ketat. Rencana ini berantakan hanya gara-gara Baba Budan, seorang jamaah haji asal Mysore, India, menyelundupkan tujuh bibit kopi dengan menempelkan di perutnya, lalu memulai perkebunan kopi di kampungnya.

Karena popularitasnya kian membumbung, kopi yang awalnya identik dengan ritual keagamaan merambah ke sisi sekuler kehidupan manusia.

Dalam dunia medis, pada abad ke-9, Al Razi menjadi orang pertama yang menyebut kopi dalam tulisannya dengan memasukkan kata bunn dan sebuah minuman bernama buncham, dalam ensiklopedi tentang zat-zat yang dipercaya menyembuhkan penyakit.

Sayangnya, karya ini telah musnah. Sementara pada abad ke-11, Ibnu Sina mengatakan bunchum dapat “membentengi tubuh, membersihkan kulit, dan mengeringkan kelembaban di bawahnya, serta memberikan bau yang enak untuk tubuh”.

“Sekularisasi” kopi juga terlihat dengan jelas di Turki. Pada 1453, di sana berdiri toko kopi pertama di dunia, Kiva Han. Pentingnya kopi dalam kehidupan masyarakat Turki membuat negeri ini membolehkan tuntutan untuk menceraikan suami yang tak mampu memenuhi kebutuhan kopi untuk istrinya. Hal ini menunjukkan bahwa kopi telah menjadi komoditas sehari-hari.

Ketika kedai-kedai qahveh mulai populer, para politikus, filosof, seniman, pendongeng, pelajar, wisatawan, hingga pedagang ngopi sambil menonton pertunjukan musik.

Mereka juga kerap mendiskusikan soal-soal  politik, sosial, dan keagamaan sambil minum kopi. Penentangan terhadap kopi oleh kaum agamawan pun kembali muncul.

Banyak penguasa juga menganggap rakyatnya menghabiskan terlalu banyak waktu dengan bersenang-senang di kedai kopi. Apalagi kedai kopi juga menjadi ajang pesta-pora, main judi, catur, dan permainan lainnya.

“Para pelanggan dimanjakan dengan berbagai kegiatan yang membuang-buang waktu,” kata sejarawan Ralph Hattox dalam “Coffee and Coffeehouses” sebagaimana dikutip DecentCoffee.com.

Sekelompok Muslim pun mengekspresikan kemarahannya, karena kopi yang dianggap sebagai teman ibadah mereka diperlakukan seperti itu. Mereka menutup paksa kedai-kedai kopi.

Bahkan di Konstantinopel terjadi kekerasan; seorang yang dianggap melanggar kesucian kopi diikat pada sebuah kantong kulit dan dijebloskan ke sungai. Untuk mengatasinya, pemerintah setempat mengambil jalan tengah. Kedai kopi boleh dibuka jika mereka bersedia membayar pajak.

Tradisi Ulama Hadramaut

Fahri Rizal mengisahkan dalam catatannya berjudul “Kopi dan Tradisi Ulama Hadramaut” mengulas tentang kebiasaan ulama Hadramaut sebuah perkapungan di Yaman yang biasanya memiliki waktu dan tradisi khusus ketika menikmati kopi.

Ada yang menikmatinya bersama keluarga di waktu Dhuha, atau orang sini menyebutnya kopi dlohwah. Ada juga yang menikmatinya ketika di majelis-majelis ilmu hadroh, atau dzikir sambil mendengarkan qasidah yang dibacakan oleh seorang munsyid (vocalis nasyid). Dan, ini yang sering dan kebanyakan saya jumpai.

“Jika kita menelisik sejarah para ulama salafush shalih pada zaman dahulu, kita akan menemukan banyak sekali ulama-ulama yang berbicara tentang kebolehan dan keutamaan meminum kopi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang sampai mengarang syair, risalah, atau kitab khusus yang berbicara tentang kopi,” ungkap Fahri dalam tulisannya.

Kenapa para ulama Hadramaut bahkan para tokoh pembesar sufi banyak yang mengistimewakan kopi?

Kopi dinilai manfaatnya membuat semangat beribadah dan bekerja, menghancurkan makanan agar tidak masuk angin, juga menghilangkan dahak yang berlebihan.

Saking istimewanya kopi, di sana  ada banyak tata cara, adab, dan doa-doa dalam meminum kopi menurut tradisi ulama Hadramaut. Tentunya, yang paling utama adalah ketika meminum kopi diusahakan harus dalam keadaan suci atau mempunyai wudlu.

Pertama, jika minum di pagi hari, hendakanya membaca al-Fatihah terlebih dahulu kemudian Ayat Kursi.

Kedua, jika di siang hari, maka membaca al-fatihah ditambah surat al-Quraish, al-Kautsar dan al-Ikhlas.

Ketiga, jika di minum tengah malam sama dengan apa yang dibaca di siang hari hanya saja ditambah dengan membaca ya Qowiyyu 116 X.

Keempat, jika di selain waktu diatas, maka cukup membaca al-Fatihah. Bisa juga ditambah ayat kursi.

Menurut sebagian ulama, maksud membaca al-Fatihah di sini adalah bertawassul atau menghadiahkan bacaan al-Fatihah kepada Rasulullah Saw, ulama, para wali, dan orang-orang sholeh yang sudah meninggal dunia.

Dari sini jelas sekali, bahwa kopi merupakan minuman para ulama Salafush Shalih sejak zaman dahulu yang secara turun menurun diikuti oleh ulama Hadramaut sampai sekarang.

Tradisi menikmati kopi bagi ulama Hadramaut adalah bukan sekedar tradisi biasa yang tak bernilai ibadah sama sekali. Justru, mereka meminum kopi dengan tujuan taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah dan menjadikan tubuh mereka bersemangat dalam melaksankan ibadah dan dzikir kepada Allah SWT. Wallahu a’lam (*)