Membangun Masyarakat, Pendekatan Agro-Based Business
Oleh : Agus Rachmad Nurlette (Pemerhati Ekonomi dan Sosial)
PENEKANAN dalam konteks pembangunan daerah bertumpu pada pelibatan masayarakat dalam keseluruhan tahap pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan memanfaatkan hasil pembangunan sampai pada pelestarian hasil pembangunan untuk memperoleh manfaat berkelanjutan.
Model seperti ini selanjutnya dikenal dengan pola pemberdayaan masyarakat yang apabila pelaksanaannya dilakukan secara tepat dan terarah diyakini akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam prespektif pembangunan masyarakat dengan pendekatan agro-based business semua stakeholder yang terlibat dalam pembangunan daerah terlebih dahulu harus mengenali dan menguasai segala kondisi dan situasi geografis wilayahnya. Terutama, apa saja yang dapat dikembangkan dan bernilai ekonomis karena ini merupakan cara satu-satunya cara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kondisi dan situasi geografis ini selanjutnya perlu dipertegas dalam bentuk konsep pembangunan yang lebih spesifik apakah pengembangannya diarahkan pada satu konsep agroproduksi-agroindustri, agrobisnis, agro sosiokultur, agro tourism atau integrasi dari beberapa konsep tersebut.
Untuk membentuk konsep pertanian yang baik tidak ada salahnya kita mencermati pengalaman beberapa negara yang saat ini terbilang sukses dalam pengembangan konsep pembangunan pertanian. Sebut saja negara Thailand yang saat ini pertumbuhan ekonominya bergantung pada ekspor produk pertanian dimana kontribusinya terhadap PDB Thailand sekitar 60% dan penyerapan angka tenaga pada sektor pertanian mencapai 60%.
Perhatian pemerintah Thailand sangat tinggi terhadap peningkatan pendapatan petani serta pola hubungan yang terbangun dengan kekompakan yang terbilang sangat baik merupakan kunci dibalik suksesnya pencapaian negara ini menjadi eksportir produk pertanian yang mendunia.
Sedikit melihat kebelakang pada titik balik pertumbuhan sistem pembangunan pertanian di negara Thailand yang momentumnya terjadi pada saat krisis keuangan yang melanda negara-negara asia pada tahun 1997. Raja Thailand saat itu Raja Bhumibol Adulyadej menggagas konsep ‘Sufficient Economy’ di negaranya untuk menghidarkan dari keterpurukan ekonomi yang mengancam.
Konsep ini selanjutnya oleh pemerintah Thailand dimasukan sebagai kebijakan pembangunan ekonomi dengan tujuan untuk menurunkan angka kemiskinan, meningkatkan sumber mata pencaharian di wilayah pedesaan menuju pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Konsep ini secara praktis menjadi semacam petunjuk bagi petani kecil diwilayah pedesaan untuk mampu memenuhi kebutuhan pangan rumah tangganya secara mandiri atau mencapai ketahanan pangan keluarga.
Selain itu kebijakan pengelolaan lahan juga diatur secara spesifik dengan membagi setiap lahan usaha petani menjadi empat bagian dengan komposisi 30:30:30:10 disetiap kepemilikan lahan. 30 persen pertama dari lahan diperuntukan untuk membangun fasilitas penyediaan air seperti waduk sehingga ketersediaan air dimusim kering tetap tercukupi, selain itu pendapatan lain juga diperoleh melalui budidaya ikan di dalam waduk.
30 persen kedua dari lahan diperuntukan untuk komoditas utama tanaman padi dengan fokus untuk memenuhi kebutuhan beras keluarga. 30 persen ketiga dari lahan diperuntukan untuk komoditas tanaman ladang yang dianggap komersil sedangkan 10 persen dari lahan tersisa diperuntukan untuk fasilitas rumah tinggal, gudang dan kandang ternak.
Dalam implementasinya, pelaksanaan sistem pertanian di Thailand ini dibagi menjadi tiga tahapan. Tahap pertama, pemerintah mendorong setiap petani untuk mengusahakan/memproduksi pangan untuk kebutuhan rumah tangganya, apabila terdapat surplus produksi kemudian dapat dijual.
Kemudian, tahap kedua, pemerintah mendorong setiap petani untuk secara mandiri membentuk koperasi yang bertujuan sebagai wadah untuk melakukan berbagai aktifitas yang berkaitan dengan kegiatan produksi, pemanfaatan mesin pertanian secara bersama-sama, negosiasi penjualan hasil dan lain-lain. Kehadiran koperasi juga turut membantu anggotanya seperti menurunkan biaya produksi, pengaturan rencana produksi dan lain-lain.
Pada tahap ketiga, koperasi didorong untuk mengembangkan kegiatan komersil yang lebih luas seperti kepemilikan mesin mesin pertanian seperti rice mill. Peran koperasi juga ditingkatkan untuk membantu petani/kelompok tani dalam aspek produksi, prosesing dan pemasaran.
Beberapa catatan penting yang dapat dijadikan pelajaran dari suksesnya pengembang sistem pertanian di Thailand diantaranya adalah sektor pertanian sebagai potensi sumberdaya alam yang dimiliki dikembangkan secara terpadu melalui sistem pertanian berorientasi pada tujuan ekonomi.
Keterlibatan pemerintah dilakukan dengan pendekatan yang lebih praktis dalam bentuk interaksi secara langsung dengan petani di wilayah pedesaan karena disadari membangun masyarakat dalam konteks pemberdayaan adalah membangun setiap rumah tangganya.
Pentingnya penguatan kapasitas sumberdaya manusia petani menjadi fokus awal yang perlu dikuatkan. Selain itu peran fasilitasi pembentukan kelembagaan dari tingkat kelompok tani sampai setingkat koperasi atau badan usaha lainnya merupakan target berikut yang harus dikuatkan untuk mendorong terjadinya interaksi ekonomi di wilayah pedesaan dan yang terakhir adalah mendorong terbukanya akses pasar yang dapat dijangkau oleh kelompok tani (***)