Mengintip Manipa, Pulau Kaya Ikan Tapi Kerap ‘Gelap Gulita’
Catatan : Saadiah Uluputty, ST
Pelabuhan Tohoku, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, menjadi titik awal keberangkatan kami di pagi itu. Cuaca laut sedikit bersahaja. Satu persatu rombongan kami bergegas masuk ke dalam speed boat berukuran jumbo yang menjadi moda transportasi andalan di pelabuhan itu.
Minggu, tanggal 12-13 September 2021 menjadi hari special bagi saya dan beberapa rekan sesame kader PKS di Maluku. Kami punya kesempatan berkunjung ke sebuah pulau yang disebut Manipa. Pulau kecil dengan luas 159,71 Km2 yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Seram Bagian Barat.
Saya tidak sendirian. Dalam perjalanan itu ada beberapa rekan yang juga kader PKS Maluku. Ada Amir Rumra, Ketua Komisi I DPRD Provinsi Maluku dan Ketua DPD PKS Kabupaten SBB Asrul S. Kaisuku II dan Sekretarisnya yang juga anggota DPRD Kabupaten SBB Rahmat Basiha.
Kami berempat diundang khusus untuk menghadiri acara peletakan batu pertama mesjid Raya Al Istiqomah di desa Luhutubang.
Setelah semua penumpang naik ke dalam speed boat, saya memilih tempat duduk dekat sejumlah ibu yang ikut menumpang kendaraan laut yang dilengkapi tiga mesin itu. Speed boat dengan muatan sesak itu membuat kami terpaksa duduk di antara tumpukan barang yang terisi penuh.
“Ini barang apa ibu – ibu,? tanya saya membuka obrolan dengan sejumlah penumpang di dalam dek kapal itu.
“Ini barang-barang penumpang yang belum terangkut sejak 3 hari lalu. Kapal tidak berangkat karena musim ombak ibu,” jawab seorang ibu kepada saya.
“Berapa jam perjalanan ke Pulau Manipa?,” tanya saya kembali.
"Biasanya 3 jam ibu," jawab penumpang itu lagi.
“Waduh, lumayan juga 3 jam kaki saya terlipat di antara tumpukan barang,” gumam saya dalam hati.
Moda transportasi ke Pulau Manipa, memang cukup menantang. Selain perjalanan membelah laut harus benar-benar menghitung kondisi cuaca laut, juga tak ada fasilitas transportasi alternatif yang lebih memadai.
Barang bawaan penumpang dan penumpang biasanya berada di tempat yang sama.
Untungnya, kami berangkat dalam kondisi cuaca laut yang membaik. Padahal, perjalanan di musim timur ini cukup beresiko.
Kadang cuaca tak menentu. Walaupun hati kecil juga diselimuti rasa was-was, namun akhirnya kami pun harus bertolak menuju Pulau Manipa.
Sesuai perkiraan tadi, speed boat dengan belasan penumpang itu akhirnya menepih di Pulau Manipa dengan selamat.
Tiba di tepian pantai Pulau Manipa, kami dihadapkan dengan sebuah kondisi yang kembali menantang. Air laut sedang surut. Taka da dermaga di pulau yang dengan 7 desa.
“Bapak ibu penumpang kita sudah tiba di Manipa. Silahkan turun,” seru seorang ABK.
Kami harus rela turun memijakkan kaki ke air laut. Masyarakat sekitar memang sudah lama terbiasa dengan kondisi tersebut. Sejak pulau ini ada hingga hari ini, mereka tidak pernah merasakan turun melewati tambatan pelabuhan speed boat atau pelabuhan sejenisnya.
Infrastruktur yang Minim
Berada di Pulau Manipa, kita seperti dihadapkan dengan sebuah kenayataan bahwa Maluku dengan 4 pulau besar dan 1.336 pulau kecil bahkan sangat kecil memang belum benar-benar keluar dari keterpurukan dan kesenjagan.
Pulau Manipa merupakan potret buram dari ribuan pulau kecil yang ada di Maluku. Selain minim perhatian, pulau dengan tujuh desa masing-masing, Desa Tuniwara, Buano Hatuputih, Tomalehu Barat, Tomalehu Timur, Kelang Asaude, Masawoi dan Luhutuban Sukaraja itu, memang belum banyak disentuh pembangun dengan maksimal.
Selama 2 hari di Pulau Manipa, saya juga menyempatkan diri melakukan kunjungan ke beberapa desa dan dusun. Bertemu sejumlah tokoh masyarakat, berdiskusi dan mendengarkan aspirasi yang disampaikan.
Diantara sekian banyak persoalan yang mengemuka, ada beberapa hal krusial yang masih jadi persoalan besar dan mendesak bagi masyarakat disana. Salah satu diantaranya adalah masalah listrik.
Di sana saya menerima informasi, di Pulau Manipa, pelanayanan pasokan listrik hanya berlangsung selama 2 hari dalam sepekan.
“Dalam seminggu kami 5 hari hidup dalam kegelapan. Jadi hanya 2 hari pasokan listrik dari PLN kami nikmati,” ungkap Pak Imam Masaoi dalam pertemuan kami.
"Kami juga mengalami kesulitan. Tegangan listrik hanya 110 Volt. Pasokan listrik ini mengakibatkan banyak alat elektronik warga yang rusak,” ungkapnya lagi.
Tentu, sebagai Anggota DPR RI Dapil Maluku yang pernah bermitra dengan PT. PLN saat duduk di Komisi VII, kondisi ini tentu sangat menggugah hati.
Persoalan listrik hingga saat ini masih saja terjadi dan belum ada perkembangan berarti terutama di daerah -daerah pulau.
Saat bertugas di Komisi VII lalu, saya menemukan ada beberapa persoalan terkait masalah kelistrikan di Maluku ini. Baik soal Rasio Elektrivikasi, lama jam nyala maupun hirarki Struktural Kerja Unit Pelayanan.
Dalam kunjungan saya kemarin dan hari ini ternyata Unit Layanan di Kepulauan Mmanipa, Kelang, Buano dan Luhu masih berada di UP Leihitu. Ini salah satu masalah krusial sebenarnya.
Mengapa ? Karena pola koordinasi dan Kerja Sama Operasi (KSO) tentu akan terputus di persoalan kewenangan antar kabupaten.
Saya mencontohkan, saat berkunjung ke Pulau Tayando Tam, sepulang dari kunjungan tersebut saya menyempatkan waktu bertemu dengan ULP Kota Tual dan Walikota Tual.
Dari pertemuan singkat itu, Saya lalu meminta dibuatkan surat dari Pemkot Tual agar bisa ditindaklanjuti ke Kementrian ESDM.
Alhamdulillah, dalam koordinasi yang linier, hasilnya bisa dilanjutkan dengan pengadaan pembangkit baru ke Tayandu Tam. Ini mungkin salah satu persoalan yang harus diselesaikan.
Fasilitas listrik bagi Saya, menjadi kebutuhan utama dan primer yang harus dibangun dan diperhatikan karena semua kebutuhan hidup hari ini terhubung dengan listrik.
Dari penerangan, pendidikan, masak, cuci, maupun industri rumah tangga seperti cold storage yang harus dibangun sebagai tempat penampung dan pendinginan ikan hasil tangkapan nelayan tentulah akan terganggu.
Betapa tidak, daerah yang potensial dan kaya ikan, baik ikan jenis pelagis maupun dimersal di pulau yang tidak terlalu jauh dari Kota Ambon, Ibukota Provinsi Maluku ini, namun hampir tak ada solusi yang berarti.
Harusnya ada pembangunan cold storage ataupun industri pengolahan yang dibangun di Pulau Manipa sebagai salah satu pulau sentra perikanan.
Masyarakat tentu sangat berharap banyak dengan kehadiran anggota DPR RI dan Ketua Komisi I DPRD Provinsi Maluku agar bisa memberikan solusi atau menjembatani persoalan yang mereka alami.
Sebagai wakil rakyat, kami tentu berkomitmen semaksimal mungkin. Agar upaya kami seperti di tempat lain dapat juga kami lakukan disini. Semoga Allah memberi jalan keluarnya. Mudah -mudahan menjadi amal kebaikan bagi kami kedepan (*)
Penulis adalah Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS