BERITABETA.COM, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan berencana kembali memberikan izin kepada kapal ikan buatan luar negeri alias kapal ikan eks asing untuk beroperasi di Indonesia.

Hal ini terungkap dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan sebagai aturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja.

Plt Dirjen Perikanan Tangkap KKP, M. Zaini, mengatakan ada 447 kapal buatan luar negeri yang ada di Indonesia.  Kapal -kapal tersebut dapat beroperasi kembali namun harus memenuhi syarat, di antaranya harus berbendera Indonesia, wajib menggunakan nakhkoda dan awak kapal perikanan dalam negeri.

Selain itu, wajib menggunakan alat penangkapan ikan yang sesuai dengan peraturan, mendaratkan ikan hasil tangkapan di dalam negeri, dan tidak melakukan transshipment (pemindahan muatan).

Atas rencana ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) meminta audiensi dengan Menteri KPP, Sakti Wahyu Trenggono.

Audiensi antara KORAL dan KKP tersebut berlangsung secara daring pada, Senin, 5 Juli 2021. Dalam pertemuan itu KORAL meminta agar KKP tetap mempertahankan kebijakan lama.  Mereka ingin agar KKP tetap tidak memberikan izin penangkapan ikan kepada kapal ikan eks asing.

“Kapal-kapal ini sebelumnya bermasalah, maka menjadi penting sekali untuk berhati-hati dalam memberikan izin kembali,” kata CEO EcoNusa, Bustar Maitar.

Ada beberapa pertimbangan yang disampaikan oleh KORAL. Menurut Bustar, tidak dikeluarkannya izin terhadap kapal ikan eks asing justru akan memberikan ruang yang lebih besar terhadap nelayan kecil. Jadi ikan yang berada di perairan Indonesia bisa dinikmati oleh nelayan asli Indonesia.

“Sehingga akan tercipta welfare untuk nelayan kita, seperti yang dicita-citakan oleh Pak Menteri,” ujar dia.

Karena meski nantinya kapal ikan eks asing tersebut berbendera Indonesia, namun kegiatan perusahaan dan kapal tetap dikendalikan oleh pemilik modal yang berasal dari luar negeri. Sebelumnya pun, hampir seluruh kapal ikan eks asing pun menggunakan awak kapal (ABK) asing.

Selain itu, data menunjukkan dari 1.132 kapal ikan eks asing, sebanyak 616 di antaranya menggunakan alat tangkap jaring trawl yang tidak ramah lingkungan dan sudah dilarang di Indonesia.

Bustar juga menyoroti tentang potensi konflik nelayan Indonesia dengan kapal ikan eks asing. Misalnya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) 718 yang meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur.

Di wilayah dangkal itu banyak kapal nelayan tradisional yang beroperasi. Jika wilayah tersebut kemudian dimasuki oleh kapal besar, maka akan terjadi persaingan dan potensi konflik yang bisa berujung kepada pelanggaran hak asasi manusia.

“Kami ingin melihat nelayan kecil diberikan ruang dan didukung penuh oleh pemerintah untuk bisa berkembang terlebih dahulu,” kata Bustar.

KORAL merupakan koalisi yang terdiri dari sembilan lembaga masyarakat sipil yang peduli terhadap kelautan dan perikanan Indonesia. Yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Ecosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa), Pandu Laut Nusantara.

Serta Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Greenpeace, Destructive Fishing Watch (DFW), Terumbu Karang Indonesia (TERANGI), dan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL).

Dalam audiensi tersebut, KORAL juga merekomendasikan KPP untuk membenahi tata Kelola perikanan yang terukur. Director of International Engangement and Policy Reform IOJI, Stephanie Juwana, mengatakan perikanan yang terukur ini bisa terlaksana dengan kepatuhan dari para pelaku usaha.

Ada dua aspek yang sangat penting, yakni kepatuhan sistem pengawasan kapal perikanan atau vessel monitoring system (VMS) dan peningkatan pelaporan kapal Indonesia.

Analisis VMS meliputi analisis kepatuhan daerah penangkapan ikan, kepatuhan kapal ikan Indonesia memastikan VMS, fishing trip, memeriksa kapal yang melaut sangat lama.

Serta analisis pemindahan muatan (transshipment) di tengah laut, kepatuhan kapal ikan untuk tidak melakukan illegal fishing, dan analisasis kepatuhan pendaratan ikan untuk mengetahui praktik kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar (unreported fishing).

Sedangkan peningkatan pelaporan kapal Indonesia bisa dilakukan dengan kepatuhan pelaporan hasil tangkap kapal ikan Indonesia (LKP dan LKU) yang akurat. Ini penting untuk memastikan bahwa produktivitas masih dalam tingkat keberlanjutan, memastikan kepatuhan pelaku usaha, dan mengoptimalkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan pajak di sektor perikanan.

"Misalnya perbandingan total penerimaan pajak sektor perikanan dengan rasio pajak nasional adalah 8,25% sampai 8,6% pada 2021. Hal ini menimbulkan tax gap. Salah satu penyebabnya adalah pelaku usaha tidak melaporkan dengan benar hasil usahanya," kata Stephanie.

Dalam audiensi tersebut, Menteri KKP Trenggono mengungkapkan bahwa ia baru mendapat data terkini yang membuat dia tercengang. Misalnya di WPP-RI 718 yang semula bisa diambil 10 juta ton, mengalami penurunan signifikan sampai menjadi 1 juta ton. Maka menurut dia, tidak ada perizinan bagi kapal ikan eks asing.

“Enggak usah dizinkan saja saat ini sudah overfishing, ngapain lagi kita bicarakan. Menurut saya sudah tidak relevan,” katanya.

Trenggono mengatakan, untuk menunjukkan keberpihakan terhadap para nelayan, maka tidak cukup dengan mengeluarkan kebijakan. Pemerintah perlu melakukan pembangunan bagi para nelayan.

Namun, kata dia, anggaran KKP yang sebanyak Rp 6 triliun tidak cukup untuk memenuhi ini. Maka KKP berencana meningkatkan PNBP melalui skema pasca produksi. Hasilnya akan digunakan untuk memberpaiki subsektor perikanan tangkap.

“Mereka yang melaut harus membayar dalam bentuk PNPB,” tutur dia (BB-DIP)