“Menyalakan Api Persatuan, Menjaga Nyala Indonesia”

Oleh: Saadiah Uluputty (Anggota DPR RI Komisi V, FPKS)
Delapan puluh tahun kemerdekaan bukan hitungan angka belaka, melainkan gema sejarah yang terus bergulir dalam denyut nadi bangsa ini. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote, merah putih berkibar sebagai penanda bahwa kita masih berdiri tegak, meski badai zaman silih berganti.
Kemerdekaan bukan hanya warisan para pahlawan, tetapi juga titipan yang harus kita rawat, agar anak cucu kelak masih dapat menyebut dirinya dengan bangga: Aku orang Indonesia.
Pidato kenegaraan yang baru saja kita dengar pada 15 Agustus 2025 di gedung DPR memberi ruang refleksi, bagaimana perjalanan bangsa ini bukan hanya tentang capaian materi dan pembangunan fisik, tetapi juga tentang daya tahan jiwa kolektif kita sebagai satu bangsa.
Kita diajak untuk kembali merenungi Pancasila, bukan sebagai slogan kosong, melainkan sebagai jiwa yang menuntun, darah yang mengalir, dan cahaya yang menerangi jalan. Persatuan, keadilan, dan gotong royong bukanlah kata-kata indah semata, melainkan pondasi agar kita tetap kokoh menghadapi zaman yang kian kompleks.
Indonesia hari ini berdiri di persimpangan sejarah. Globalisasi membuka peluang, tetapi juga menebarkan ancaman. Perubahan iklim, konflik geopolitik, kesenjangan ekonomi, hingga disrupsi teknologi, semuanya menguji ketahanan kita.
Dalam situasi demikian, kita harus menyalakan kembali api persatuan agar tidak terombang-ambing oleh arus yang menenggelamkan. Persatuan bukan berarti seragam, melainkan harmoni dalam keberagaman. Ia adalah musik kehidupan yang membuat perbedaan kita menjadi kekuatan, bukan kelemahan.
Kedaulatan rakyat yang selalu digaungkan dalam sidang-sidang negara bukanlah jargon yang boleh kehilangan makna. Rakyat adalah pemilik sejati negeri ini, dan negara sejatinya hanyalah alat untuk mengabdi pada kepentingan rakyat. Maka, demokrasi yang kita jalankan seharusnya menjadi wadah yang memperkuat suara rakyat, bukan mempersempitnya.
Demokrasi bukan sekadar bilik suara setiap lima tahun, melainkan ruang dialog yang hidup dalam keseharian—di balai desa, di ruang kelas, di pasar tradisional, bahkan di kolom-kolom media sosial yang kini menjadi wajah baru aspirasi bangsa.
Namun kita juga harus jujur, demokrasi kita belum sepenuhnya sempurna. Masih ada campur tangan kekuatan uang, masih ada intervensi kepentingan sempit, masih ada distorsi yang membuat suara rakyat kadang terpinggirkan. Dalam kondisi itu, kita perlu keberanian untuk memperbaiki diri.
Partai politik sebagai jembatan antara rakyat dan negara harus menjadi lokomotif yang menuntun arah, bukan sekadar gerbong yang ikut terbawa arus. Tanpa nilai, tanpa integritas, partai akan kehilangan makna. Padahal, partai politiklah yang melahirkan pemimpin, dan pemimpinlah yang akan menentukan arah bangsa ini.