“Menyalakan Api Persatuan, Menjaga Nyala Indonesia”

Di tengah perjalanan bangsa, kritik rakyat tidak boleh dianggap sebagai bara yang memecah belah, melainkan cahaya yang memberi arah. Kita hidup di zaman ketika anak muda menyuarakan kegelisahannya lewat meme, sindiran, dan bahasa digital yang kadang terdengar nyeleneh. Namun di balik itu, ada harapan yang ingin mereka titipkan.
Maka bijaklah kita mendengar dengan hati terbuka, sebab kritik yang jujur justru menandakan bahwa rakyat masih peduli pada negeri ini. Apabila suara itu kita abaikan, maka kita sedang membiarkan api semangat nasionalisme meredup perlahan.
Indonesia tidak boleh lemah dalam menghadapi guncangan global. Kemandirian pangan, energi, teknologi, dan manufaktur adalah syarat mutlak jika kita ingin berdiri tegak di tengah dunia multipolar.
Sebab bangsa yang bergantung akan selalu berada di bawah bayang-bayang bangsa lain. Tetapi kemandirian itu bukanlah menutup diri, melainkan memperkuat Pondasi dari dalam agar kita mampu bermitra dengan bangsa lain secara sejajar. Indonesia harus hadir di meja perundingan internasional bukan sebagai penonton, melainkan sebagai pemain utama yang membawa kepentingan rakyatnya.
Kemajuan bangsa tidak mungkin tercapai tanpa investasi pada manusianya. Pendidikan adalah obor yang menyalakan peradaban, sementara kesehatan adalah jembatan agar rakyat mampu berlari mengejar mimpi. Namun di luar itu, ada satu hal yang sering kita lupakan: peran perempuan sebagai setengah dari kekuatan bangsa.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan hampir separuh penduduk negeri ini adalah perempuan. Maka mustahil Indonesia berdiri kokoh jika perempuannya masih dipinggirkan. Keterwakilan perempuan di parlemen yang kini mencapai lebih dari dua puluh persen adalah langkah maju, tetapi belum cukup. Kita harus memastikan suara perempuan bukan hanya terdengar, tetapi juga diperhitungkan dalam setiap kebijakan.
Pondasi lain yang tak boleh kita abaikan adalah kebudayaan. Globalisasi membawa derasnya arus budaya asing yang kadang menggoda, kadang melunturkan identitas. Jika kita tidak berhati-hati, maka generasi muda kita akan kehilangan arah. Padahal kebudayaan adalah jiwa bangsa, perekat sosial, dan benteng moral.
Gotong royong, kesantunan, dan semangat Bhinneka Tunggal Ika adalah pusaka yang harus kita rawat. Bangsa yang kehilangan budayanya ibarat pohon yang dicabut dari akarnya—ia mungkin masih berdiri sebentar, tetapi akan segera roboh diterpa angin.
Saudara sebangsa dan setanah air, delapan puluh tahun kemerdekaan mengingatkan kita bahwa bangsa ini lahir dari pengorbanan. Para pejuang terdahulu tidak bertanya siapa agamamu, dari suku apa asalmu, atau apa bahasamu.
Mereka hanya tahu satu kata: merdeka. Semangat itulah yang harus kita hidupkan kembali di tengah tantangan zaman. Nasionalisme bukan sekadar mengibarkan bendera, melainkan keberanian untuk menomorsatukan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi.