BERITABETA.COM, Ambon – Anggota Komisi X, DPR RI Dapil Maluku,  Mercy Chriesty Barends mengajak semua kaum perempuan, terutama para aktivis dan tokoh perempuan Maluku agar terus bersatu dan tampil melawan ketimpangan sosial yang terjadi di daerah ini.   

Politsi PDI-Perjuangan Maluku ini menegaskan sudah saatnya kaum perempuan di Provinsi Maluku bangkit dan berpihak kepada kaum perempuan.

“Perempuan Maluku saat ini berada pada titik krusial dalam sejarah perjuangan sosial dan pembangunan,” ujar Mercy Barends dalam dialog Semarak Budaya yang digelar Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) bersama Komisi X DPR RI di the View Cafe di kawasan Karang Panjang, Ambon, Minggu (27/7/2025) malam.

Dialog yang mengusung tema “Kontemplasi Budaya Kontemporer: Ekspresi dan Rekleksi Kritis Peran Strategis Perempuan Dalam Pembangunan di Maluku” dihadiri sekitar 50 orang perempuan dari berbagai latarbelakang, mahasiswa, ibu rumah tangga, dosen, pedagang papalele (keliling) hingga para aktivitas yang aktif dalam kerja advokasi terkait kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Maluku.

Forum tersebut bukan hanya menjadi ruang diskusi, tetapi juga wadah menyuarakan jeritan hati, gagasan, dan strategi gerakan perempuan yang selama ini terpinggirkan oleh sistem yang belum sepenuhnya inklusif, serta tuangan pergumulan mereka terhadap situasi yang dihadapi hari ini.

Kaum perempuan yang hadir dalam refleksi budaya itu, tampak semangat mengekspresikan berbagai kemampuan mereka, mulai menari, bernyanyi, bermain musik serta menceritakan berbagai kisah pilu tentang kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Maluku.

Mercy tampil anggun dengan menggenakan balutan kain tenun Tanimbar membungkus tubuhnya, sedangkan kepalanya berhiaskan bulu burung cenderawasih, simbol budaya masyarakat Kepulauan Aru yang merupakan tanah asalnya.

 

Anggota Komisi X DPR RI Dapil Maluku Mercy Chriesty Barends berbicara pada dialog Semarak Budaya mengusung tema "Kontemplasi Budaya Kontemporer yang digelar Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) bersama Komisi X DPR RI, di The View Cafe di kawasan Karang Panjang, Ambon, Minggu (27/7/2025) malam.

 

MCB pun bahkan tampil penuh ekspresif saat membacakan puisinya berjudul “Perempuan Maluku di Jalan Penuh Bara”, bentuk refleksi kritis tentang kondisi perempuan di Maluku saat ini. Puisi itu baru saja ditulis pada Sabtu malam, 26 Juli 2025, sebelum MCB-sapaan akrab Mercy–berangkat dari Jakarta ke Ambon untuk menghadiri refleksi budaya itu.

Puisi yang ditulis merupakan penggalan kisah dan fakta perjuangan kaum perempuan di berbagai daerah di Maluku yang menjadi korban ketidakadilan, pelecehan dan kekerasan seksualitas, maupun terpinggirkan dalam hubungan dan relasi sosial kemasyarakatan.

Wadah Ekspresi dan Kritik

Berbagai isu, mulai dari pendidikan, kesehatan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hingga degradasi lingkungan hidup menjadi tema-tema utama yang muncul dan dibicarakan dalam forum tersebut.

Forum ini berhasil menyatukan suara dari berbagai latar belakang perempuan: akademisi, seniman, penggerak ekonomi, mama-mama penenun, hingga komunitas perempuan adat. Mereka semua merefleksikan satu hal penting, bahwa sistem dan kebijakan negara belum sepenuhnya berpihak pada perempuan.

Mercy yang merupakan legislator dari Dapil Maluku itu, juga menyoroti perempuan yang berprofesi sebagai nelayan, hingga kini tidak diakui dalam kategori penerima bantuan program nelayan karena status nelayan masih identik dengan laki-laki.

Padahal, banyak perempuan yang turut melaut menggunakan perahu kecil dengan risiko tinggi, tanpa perlindungan maupun dukungan dari negara.

 berbicara pada dialog Semarak Budaya mengusung tema "Kontemplasi Budaya Kontemporer yang digelar Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) bersama Komisi X DPR RI, di The View Cafe di kawasan Karang Panjang, Ambon, Minggu (27/7/2025) malam.

Demikian pula Mama papalele yang menjajakan hasil bumi dengan memikul bakul di kepala, namun tetap terpinggirkan karena hanya diberi ruang di emperan toko, bukan di pasar resmi, padahal mereka hanya berjuang demi asap dapur tetap mengepul.

Realita Diskriminasi

Direktur Himpunan Maluku untuk Kemanusiaan (Humanum) Vivi Marantika, menyatakan meskipun regulasi terkait hak perempuan telah banyak disahkan, pelaksanaannya di lapangan masih jauh dari harapan.

“Diskriminasi struktural, kekerasan seksual, dan marginalisasi ekonomi masih menjadi realita pahit yang dialami perempuan di berbagai daerah di Maluku,” ujarnya.

Karena itu, Humanum, menurut Vivi, saat ini aktif mengembangkan sekolah perempuan di beberapa daerah untuk melakukan advokasi terhadap terhadap berbagai kasus diskriminasi kaum perempuan dan anak-anak.

Isu lain yang mendapat sorotan tajam adalah dampak kehadiran investasi besar seperti pertambangan terhadap lingkungan hidup dan masyarakat adat. Perempuan dan anak-anak menjadi kelompok yang paling terdampak karena mereka adalah penopang utama keberlangsungan keluarga dan komunitas.

Perempuan Maluku selama ini berperan besar dalam mengelola pertanian, perikanan, dan sumber daya alam secara berkelanjutan. Namun sayangnya, peran besar ini jarang diakui secara formal oleh negara.

“Ini menciptakan ketimpangan yang sistemik dan menjadikan perempuan berada dalam posisi rentan baik secara sosial maupun ekonomi,” katanya.

Revitalisasi Sistem Adat dan Keadilan Gender

Salah satu gagasan penting yang lahir dari forum ini adalah perlunya revitalisasi hukum adat. Dalam nilai-nilai adat Maluku, perempuan sebenarnya ditempatkan pada posisi terhormat. di Kepulauan Kei misalnya laki-laki rela mati demi membela saudara perempuannya.

Namun, realitasnya, banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang diselesaikan secara adat tanpa memberikan keadilan bagi korban. Pelaku cukup membayar denda adat, sementara perempuan korban tidak mendapat ruang untuk pemulihan maupun dukungan.

Karena itu, Mercy Barends menekankan pentingnya rekonstruksi sistem nilai dalam hukum adat, agar perempuan mendapat akses keadilan yang setara. Hukum adat harus menjadi ruang aman bagi perempuan, bukan sekadar simbol budaya yang tak berpihak.

Karena itu, dalam konteks kepulauan Maluku yang terdiri dari 11 kabupaten/kota dengan karakteristik budaya yang berbeda, tandas Mercy, dibutuhkan satu kerangka kerja strategis dan integratif untuk menyatukan gerakan perempuan.

Forum ini membuka jalan bagi terbentuknya jejaring perempuan berbasis kepulauan—bukan hanya sebagai pertemanan atau kolega, tapi sebagai struktur kerja yang sistematis dan berkelanjutan.

Dengan jejaring ini, advokasi kebijakan dapat dilakukan secara kolektif, dan bisa masuk ke dalam agenda pemerintah daerah maupun nasional. Spirit kolaboratif lintas generasi menjadi kunci, dan gerakan akar rumput harus menjadi penggerak utama (*)

Editor : Redaksi