Korupsi. Itu kata atau istilah yang belakangan ramai menyedot perhatian publik di Maluku. Memang bukan barang baru. Korupsi sudah sejak lama menjadi peristiwa yang sering mengharu biru di ruang publik.

Terlebih lagi di November 2021 ini. Banyak nian kasus korupsi yang coba digali dan akhirnya menyeret sejumlah nama beken yang berkuasa. Bahkan beberapa kasus diantara sudah menjerumuskan sejumlah pelaku ke jeruji besi.

Kita tentu sangat mafhum, kenapa kasus korupsi begitu menyita perhatian banyak orang. Ini karena korupsi oleh negara dikategorikan sebagai Extraordinary crimes [kejahatan luar biasa].

Dalilnya, kasus korupsi merupakan kejahatan luar biasa,  karena memberi dampak negatif bagi kehidupan masyarakat luas.

Dalam konteks kekinian, maka penempatan kasus korupsi sebagai Extraordinary crimes adalah hal yang lumrah, karena efek yang ditimbulkan, baik itu berupa nilai dan pengaruh dalam sebuah posisi  cukup besar.

Menyimak berbagai peristiwa korupsi yang terjadi belakangan ini, tentu kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kondisi manusia kekinian sudah terlalu fatal soal mental kejujuran.

Faktanya, istilah semacam korupsi itu sudah ada sejak zaman Nabi. Bahkan dalam sejarah Islam praktik korupsi dalam beberapa bentuknya juga telah ditemukan sejak periode paling awal di zaman Nabi.

Masyarakat Islam di zaman Nabi, khususnya periode Madinah, telah terbentuk dan  terorganisasi secara rapih. Madinah merupakan negara kota yang diperlengkapi dengan sebuah konstitusi.

Pada periode inilah istilah ghulul (penggelapan), suht atau risywah (penyuapan), dan pemberian yang tidak sah kepada para pejabat (hadaya al-‘ummal) dikenal berdasarkan beberapa kejadian.

Korupsi di zaman itu, bahkan nilainya hanya secuil, tapi oleh Baginda Rasulullah, pelakunya bahkan divonis sebagai penghuni neraka.

Sebuah kisah yang terjadi di zaman Rasulullah dan membuktikan bahwa manusia kekian terlampau rusak fatal mental kejujurannya itu, adalah kisah yang menimpa Mi'dam alias Kirkirah.

Mi'dam adalah seorang budak.  Kisah itu berawal ketika Rasulullah memerintahkan pria asal Bani Asyja‘ itu membawakan sejumlah ghanimah, atau harta hasil rampasan perang.

Tetapi sebelum sampai pada tujuan, kala melintasi wilayah Wadil Qura, Mi'dam terkena bidikan nyasar sebuah anak panah. Lehernya terus mengucurkan darah hingga tak tertolong dan meninggal dunia.

Para sahabat mengira Mid’am mati syahid dan akan masuk surga. Karena memang mati di medan perang. Namun di luar dugaan, Nabi yang saat itu berada dalam majelis bersama para sahabat, tiba-tiba berdiri dan berkata bahwa Mid’am masuk neraka.

Para sahabat heran dengan sabda Nabi yang memutuskan demikian. Lalu mereka melakukan penyelidikan terhadap Mid’am untuk mengetahui apa sebabnya nabi memberikan pernyataan demikian.

Setelah diteliti secara detail, ternyata Mid’am mengambil sebuah mantel dari hasil rampasan perang.

Nabi pun bersabda;

"Tidak! Demi Allah. Sesungguhnya mantel hasil rampasan perang saat penaklukan Khaibar yang ia ambil dan belum dibagikannya; akan menyulut api neraka, lalu membakarnya."

Ketika para sahabat mendengar pernyataan Rasulullah, datang seseorang yang tampak ketakutan. Ia menyerahkan seutas tali sepatu yang pernah diambilnya dengan cara serupa.

Demi menegur sahabat tersebut, Nabi bersabda; "Seutas tali sepatu sekali pun tetap akan menjadi api neraka."

Kisah-kisah di zaman Nabi itu, tentunya jauh panggang dari api. Dimana korupsi kekinian tidak lagi menyasar hal-hal kecil berupa benda yang tentu tidak seberapa nilainya.

Zaman Nabi, objek yang dikorupsi tidak berdampak pada kerugian banyak orang atau yang disebut dengan Extraordinary crimes. Tapi oleh Baginda Rasulullah pelakunya divonis neraka.

Sedangkan korupsi kekinian, setiap orang yang disangka bersalah oleh aparat penegak hukum pun, masih dilindungi oleh Undang-Undang dengan cara menggaungkan asas Praduga Tak Bersalah.

Jika pintar berkelit dan beralibi, pelakunya bisa saja lolos dari jeratan hukum. Itulah korupsi kekinian jauh dari Neraka dan banyak kemudahan (*)