Oleh : Muh Kashai Ramdhani Pelupessy (Dosen Psikologi IAIN Ambon)

Sekarang ini, jumlah guru Bimbingan Konseling (BK) di Maluku masih sangat rendah. Uniknya, ditemukan beberapa kasus bahwa untuk mengatasi keterbatasan guru BK, maka sebagian sekolah mencoba melibatkan guru pendidikan agama sebagai guru BK. Padahal, kompetensi dan peran guru pendidikan agama ini sangat berbeda dengan guru BK.

Belum lagi, ada beberapa sekolah yang menugaskan guru BK mengajar Muatan Lokal (Mulok), dan bahkan menjadikan guru BK sebagai wali kelas. Padahal, tugas dan peran guru BK tidaklah seperti itu.

Kehadiran guru BK di setiap sekolah ialah memecahkan persoalan psikologis dan menerapkan instrumen aspirasi karir atau lainnya untuk peningkatan mutu kualitas lulusan di setiap sekolah.

Artinya, jika persoalan guru BK ini tidak teratasi secara maksimal dan tidak diperhatikan maka akan berdampak pada kualitas SDM Maluku di masa mendatang.

Tak perlu jauh-jauh kita berbicara 20 tahun kemudian, sekarang ini jika kita buka data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Maluku mencapai 52.821 orang.

Belum lagi, jumlah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) paling besar ditempati lulusan SMK (12.87%), Perguruan Tinggi (11,43%), dan SMA (10,45%). Data ini menunjukkan bahwa ketersediaan lapangan kerja sangat terbuka lebar bagi lulusan SMK, SMA, dan Perguruan Tinggi.

Jika kita mencermati data itu maka muncul pertanyaan, lalu gambaran aspirasi karir mereka (para lulusan) itu seperti apa? Mau bekerja di mana? Apakah setelah lulus, mereka sudah matang aspirasi karirnya?

Terus, jika lulusan SMK atau SMA mau lanjut kuliah ke Perguruan Tinggi lantas bagaimana aspirasi akademiknya? Mau kuliah di jurusan apa? Jangan sampai ketika sudah kuliah baru sadar, “oh ternyata saya salah jurusan” ini kan gawat.

Memecahkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu solusinya ada di guru BK. Hadirnya guru BK di setiap sekolah ialah untuk mendeteksi sejauhmana aspirasi karir dan akademik peserta didik ke depan.

Inilah pentingnya peran guru BK di setiap sekolah. Dengan begitu, kualitas lulusannya tepat sasaran sesuai bidang pekerjaan nantinya.

Mengapa pendeteksian aspirasi karir ini penting dilakukan? Karena peserta didik SMA atau SMK tergolong usia remaja. Yang mana, dalam kajian psikologi Erick Erikson bahwa masa remaja ialah masa krisis identitas.

Kriris identitas ini bukan berarti buruk, melainkan pada masa remaja ini merupakan masa paling menentukan (golden age = usia emas). Sebab, masa remaja berada di antara masa kanak-kanak dan dewasa.

Proses peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa sangat ditentukan oleh sejauhmana individu “berhasil” melewati sejumlah masalah psikologis (krisis identitas) yang dialami ketika masih remaja. Sebagaimana menurut pakar psikologi perkembangan, Hurlock mengatakan bahwa tugas remaja ialah menanggulangi perilaku kekanak-kanakan dan mempersiapkan diri menghadapi masa dewasa.

Karena masa remaja merupakan masa peralihan, maka disinilah pentingnya dilakukan pengarahan dan pembimbingan oleh guru BK demi mencapai kualitas remaja saat memasuki usia dewasa yakni tuntutan karir.

Meskipun demikian, proses pembimbingan itu bukan dengan cara paksaan atau mengikuti kehendak guru BK. Namun, proses pembimbingan itu sifatnya yang membebaskan. Artinya, peran guru BK ialah sebagai stimulus dan pemberi alternatif yang secara bebas diberikan kepada remaja untuk memutuskan nasibnya sendiri ke depan.

Beberapa temuan psikologi dengan sudut pandang Achievement Goal Theory (AGT) menunjukkan bahwa individu yang bebas memutuskan nasibnya sendiri akan lebih bertanggungjawab atas keputusannya itu sehingga cenderung lebih berhasil di masa mendatang.

Olehnya itu, berbicara aspirasi karir SMA atau SMK sangat ditentukan oleh peran guru BK menstimulasi kebebasan remaja (peserta didik) memutuskan nasibnya karirnya sendiri ke depan.

Aspirasi karir sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel psikologis yakni konsep diri, kematangan emosi, pengambilan keputusan, locus of control, dan lainnya. Jika kita kontekskan beberapa variabel psikologis itu dengan masa remaja yang “sering” mengalami “krisis identitas”, maka dapat dikatakan bahwa konsep diri remaja belum kuat, emosinya belum matang, dan pengambilan keputusannya juga masih belum stabil.

Lagi-lagi, solusinya ada di guru BK. Sebagaimana yang paparkan di atas bahwa peran guru BK ialah menstimulasi peserta didik (remaja) memutuskan sendiri seperti apa konsep dirinya, bagaimana ia pengendalian emosinya, serta pengambilan keputusannya ke depan.

Dari sekian ulasan di atas, dapat dikatakan bahwa peran guru BK sangat menentukan kualitas SDM ke depan, terutama berbicara mengenai persoalan karir masyarakat ke depan di Maluku. Apalagi, berbicara kemajuan di masa mendatang sangat ditentutkan oleh kualitas remaja sekarang ini. Sekian. Wallahua’lam (***)