BERITABETA.COM – Kota Ambon sudah mulai gelap ketika saya dan fotografer Bismo Agung menginjakkan kaki di Bandara Internasional Pattimura, Rabu (14/11/2018). Sembari menunggu jemputan, saya iseng bertanya pada salah satu pria yang sibuk menawarkan mobil tumpangan kepada para penumpang yang keluar dari pintu bandara.

“Om, kenal dengan Rence Alfons kah?” tanya saya.

“Tau. Yang main suling bambu to?” jawabnya cepat.

Pada kesempatan lain, tepatnya dua hari kemudian, saat ingin menemui Rence di rumahnya yang terletak di Desa Tuni, Nusaniwe, tak sulit menemukan pengojek yang hapal jalan menuju ke sana. “Pasti mau ke rumahnya Om Rence yang tukang bikin suling bambu itu to? Naik sa,” jawab sang tukang ojek lugas.

Saya cukup terkejut dengan dua pengalaman di atas. Dugaan awal saya, tidak begitu banyak yang mengetahui sosok pria yang ingin saya temui ini. Maklum saja, Rence berada di luar ingar bingar musik populer di Kota Ambon.

Kiprah alumni Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu lebih banyak bersentuhan dengan musik tradisional suling bambu. Dia menjadi dirigen Molucca Bamboowind Orchestra (MBO), penampil utama dalam Amboina International Bamboo Music Festival 2018 yang berlangsung di Lapangan Merdeka, Ambon (15-17/11).

Kegiatan yang baru pertama kalinya diadakan itu merupakan bagian dari kampanye Ambon meraih gelar Kota Musik Dunia versi United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Saya bersua Rence untuk pertama kalinya di panggung terbuka yang letaknya persis di sebelah Gedung Taman Budaya Maluku, Karang Panjang, Kamis (15/11). Kami janjian mengobrol selepas dia bercerita soal proses pembuatan suling bambu dalam acara Amboina International Bamboo Music Convention.

Mengenakan kemeja biru dan celana denim dengan warna senada, juga berkacamata riben demi menepis terik matahari, Rence yang sesekali menenggak sopi dari botol air mineral berkisah awal kiprahnya menekuni suling bambu Maluku.

Semua berawal dari kesukaan menonton bapaknya tampil dan latihan. “Bapak saya awalnya pemain saksofon. Punya grup namanya Tangkai Melati. Terakhir dia main suling bambu karena jadi leader peniup suling di gereja. Saya yang waktu itu kelas tiga SD sering diajak melihat bapak latihan,” kenangnya.

Berdasarkan posisi saat meniupnya, suling bambu di Maluku terbagi dua jenis. Suling bambu vertikal berkembang di kalangan umat muslim.

Rence Alfons sedang mendemonstrasikan cara pembuatan suling bambu di bengkel miliknya yang terletak di Desa Tuni, Nusaniwa, Ambon (16/11/2018) | Andi Baso Djaya /Beritagar.id

Sementara yang posisinya horizontal dekat dengan penganut agama Kristen karena menjadi bagian dari liturgi Protestan. Menurut Rence, ketika dia masih bocah masih sangat mudah melihat orang-orang meniup suling bambu. Pasalnya mereka adalah bagian dari kelompok musik gereja di Ambon.

Perkembangan zaman yang ikut mengubah paradigma warga Ambon, terutama generasi muda, kemudian mengikis satu per satu pelaku suling bambu. Atas nama modernisme, posisi suling bambu tergantikan oleh terompet yang terbuat dari logam. Hal itu diakui oleh Jeremias, 75 tahun, yang mulai tergabung dalam grup peniup suling bambu gereja sejak 1955.

“Zaman dulu semua gereja punya kelompok peniup suling bambu. Menghilang pelan-pelan mungkin karena gengsi,” kata pria yang akrab disapa Opa Bong ini.

Opa Bong meniup aupur, jenis suling penghasil nada kelima yang menggunakan klep. Karena tak memiliki lubang laiknya suling kebanyakan, model dan cara meniup aupur mirip trombon dalam brass section. Rence Alfons ingin menjadikan MBO sebagai wadah melestrarikan musik tradisional sekaligus merawat persatuan di Tanah Ambon

Bambu punya arti yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari warga Ambon. Tak hanya dimanfaatkan sebagai alat kebutuhan rumah tangga, bambu dimanfaatkan pula sebagai bahan pembuatan jembatan, bahkan untuk keperluan makan semisal rebung yang dijadikan sayur. Warga Maluku mengenal pula tradisi bambu gila.

Pada ranah kesenian, penggunaan bambu tak hanya terbatas pada suling. Ada pula alat musik tradisional dari bambu yang dimainkan dengan cara mengentakkannya ke tanah seperti bambu hitada di kawasan Halmahera, Maluku Utara.

Suling bambu yang termasuk alat musik jenis aerophone sudah lama mewarnai perjalanan Maluku. Rence menuturkan bahwa sosok yang mengembangkan penggunaan suling bambu di Maluku adalah Joseph Kam (1769-1833).

Misionaris Kristen Protestan asal Belanda itu punya latar belakang musik flute. Menyadari kesulitan menemukan bahan baku pembuatan flute untuk liturgi, ia akhirnya menggunakan bambu sebagai pengganti.

Warisan itu masih terus dijaga dan dilestarikan hingga memasuki akhir abad milenium kedua. Setelah itu perlahan namun pasti eksistensi bambu sebagai alat musik tradisional Maluku, khususnya suling di Ambon, semakin terpinggirkan.

Kenyataan tersebut membuat Rence prihatin. Kalaupun ada yang masih mereken suling bambu dalam anggota kelompok musik gereja, letaknya jauh di pelosok. Peniupnya pun sudah sepuh. Minim suksesor. Keadaan bertambah parah setelah pecah konflik horizontal di Ambon yang berlangsung pada 1998.

Sebagai nyong Ambon asli yang tujuh tahun mengenyam pendidikan musik di ISI, Rence tergerak untuk melestarikan kembali alat musik tradisional suling bambu, plus memanfaatkannya sebagai sarana pengikat tali persatuan.

Momentum mendirikan kelompok orkestra dengan suling bambu sebagai instrumen utama terjadi pada 2005. Marcus Jacob Papilaja yang kala itu menjadi Wali Kota Ambon meminta Rence menghadirkan acara kesenian tradisional saat perayaan Hari Ulang Tahun Kota Ambon.

“Soalnya belum pernah ada pasca kerusuhan. Akhirnya saya keliling mengumpulkan pemain-pemain suling bambu di gereja,” kata Rence yang kelahiran 1967, bukan 1966 seperti termaktub dalam laman Wikipedia.

Rence bergerilya mencari para peniup suling bambu menggunakan pendekatan sosial kultural. Noninformal. “Saya datangi tempat mereka biasa nongkrong. Kepada mereka saya katakan bahwa suling bambu adalah identitas orang Maluku. Sangat berbahaya kalau identitas itu hilang karena tidak ada yang mempertahankan,” terangnya.

Dari usahanya bergerilya itu Rence berhasil mengumpulkan 20 orang. Selain merekrut pemain, ia juga membuat suling, menciptakan aransemen, dan melatih. Rangkap jabatan itu berlangsung hingga 2010.

Tiba saatnya perayaan HUT Kota Ambon pada 7 September 2005, untuk pertama kalinya rombongan orkestra ini tampil di depan massa. Waktu itu mereka belum menggunakan nama MBO. Nama tersebut baru muncul pada 2011.

“Buat saya, nama sangat berpengaruh pada kiprah. Saya ingin musik bambu Maluku dikenal banyak orang. Selama ini hanya ada istilah woodwind, tiup kayu. Saya bikin bamboowind. Inspirasi nama MBO dari situ,” sambung pengagum komposer Wolfgang Amadeus Mozart.

Saat tampil perdana, Rence dan rombongannya memainkan komposisi lagu “Pancasila Rumah Kita” hasil kolaborasi bersama mendiang Franky Sahilatua. Publik dibuat terpukau. Antusiasme warga itu membuat Rence semakin bersemangat mengembangkan musik suling bambu. Terlebih sekarang personel MBO telah mencapai 100 orang yang berasal dari beragam profesi, mulai dari siswa, mahasiswa, Pegawai Negeri Sipil, pensiunan, tukang bikin tifa, pengojek, hingga petani.

Membuat satu suling bambu membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Itu dengan catatan bahwa semua materi bambu sudah siap diolah.

Jika menghitung sejak awal, maka prosesnya menghabiskan waktu tiga bulan. Fase paling lama adalah pengeringan. Jenis bambu yang dipilih adalah sero, tui, dan tapir. Dalam MBO, peniup suling terbagi lima kelompok. Masing-masing menghasilkan suara satu hingga lima.

Saya berkesempatan melongok proses tersebut saat mengunjungi rumah Rence di Desa Tuni yang berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Ambon. Sebelum berangkat, Rence mewanti-wanti lewat pesan di WhatsApp. “Pigi naik ojek sa. Susah kalau oto. Jalanan di sini sempit,” tulisnya.

Benar saja, rute menuju Desa Tuni bukan cuma sempit, tapi juga harus melewati rute menanjak dan menurun. Di sisi kiri dan kanan jalan adalah jurang. Menuju ke rumah Rence harus berjalan turun lagi sejauh 10 meter.

Ketika sampai, tampak beberapa orang sedang bercakap-cakap. Di sana pula saya bertemu Opa Bong dan beberapa anggota MBO lainnya, termasuk empat orang remaja yang menyampirkan tas berisi suling bambu di bahu masing-masing. Rence mempersilakan saya menuju bengkel sulingnya yang berjarak hanya beberapa langkah kaki di belakang rumah.

Tampak oven tiga tingkat, mesin bor listrik, dan bambu-bambu yang bersander di dinding bengkel yang terbuat dari papan. Sementara bilah-bilah bambu yang siap olah diletakkan di atas meja.

Mulailah Rence memilih satu bambu yang akan dikerjakannya. Dengan menggunakan cetakan yang sudah disiapkan sebelumnya, dia menandai tempat-tempat yang akan dilubangi. Setelah itu ia beranjak ke tempat pengeboran. Lubang hasil bor tadi kemudian dibersihkan menggunakan amplas listrik.

Untuk memastikan nada yang dihasilkan suling tadi presisi alias tidak fals, Rence menggunakan aplikasi Datuner yang terpasang di ponselnya.

Seiring perjalanan MBO, Rence kini tidak lagi melakukan rangkap tugas. Di kelompoknya sekarang sudah ada yang bisa menjadi arranger, pelatih suling masing-masing suara, bahkan pembuat suling. Tugasnya hanya menangani finishing saja. “Saya hanya mengeset suara masing-masing suling karena yang lain belum mampu,” ucapnya.

Melalui suling bambu, Rence berhasil membuktikan bahwa musik tradisional tak ketinggalan zaman. Pun kehilangan panggung bermain. Walaupun sejak 2014 sudah tak pernah lagi diundang tampil dalam perayaan ulang tahun kota dan provinsi, MBO tetap sering diminta mengisi berbagai acara.

Beberapa acara yang menghadrikan MBO, antara lain Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi), Hari Pers, Temu Karya Taman Budaya se-Indonesia, Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) Katolik Nasional, dan Amboina Bamboo Internasional Music Festival.

Mereka juga diundang tampil dalam acara Kongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta (5/12). Untuk keperluan itu, Rence akan memboyong 30 orang. “Pemain-pemain alat musik nontradisional disediakan panitia di sana,” ungkapnya.

Ikhtiar Rence menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang sosial, umur, dan agama menciptakan harmoni telah berhasil.

Melalui MBO, ia juga memperpanjang napas musik tradisional itu sehingga tak punah oleh perkembangan zaman. Bambu itu kini bernapas panjang. Seperti puisi Rudi Fofid bertajuk “Ada Bambu Bernapas”.

Bukan cuma ombak Laut Banda yang sanggup mengalun mencium bibir manis Pantai Ambon. Tetapi bambu-bambu juga sanggup mengalun bila dicium bibir-bibir seniman seruling yang nafasnya sungguh setengah dewa. Mari muliakan bambu supaya Tuhan yang cuma satu dimuliakan oleh nyanyian dan budi kesenian.

Sebab kita sudah makan bambu, minum di bambu, manari bambu. Bambu memang gila sebab sanggup jadi jembatan bagi jantung dan hati yang tercerai-berai. Apabila suling bambu dihembuskan dengan rasa sayang, maka melodi akan mengalir di sungai-sungai harmoni kehidupan. Nada-nada membasuh jiwa-jiwa layu, lelah, dan lapuk agar tidak merana dan nelangsa lagi. Apabila seniman bambu sudah hunuskan sebilah seruling, jangan keraskan hati, sebab mereka akan melancarkan seribu serangan damai yang mampu bebaskan jiwa-jiwa dari rasa benci, dendam, curiga, dan bara amarah.

Awas, jangan sampai anak panah persaudaraan yang dilepas seniman seruling bambu tidak tancap dada. Sebab membangun jiwa raga Indonesia Raya bukan cuma bambu runcing, tetapi juga orkes suara suling bambu di kampung-kampung sederhana yang megah mencakar langit. Ingat, bila bambu sudah bernapas, bila bambu sudah bicara, maka rumah Indonesia bisa tetap berdiri. Kita bisa tetap percaya diri, bahwa kita lebih baik tetap di sini. (Andi Baso Djaya)

BIODATA

Nama:

Meynard Reynold Nathanael Alfons

Tempat, tanggal lahir:

Desa Tuni, Nusaniwe, Ambon, 18 Januari 1967

Nama istri:

Herly Jannet Lesilolo

Nama anak:

Riluke Noa

Alle Noa

Pendidikan:

Institut Seni Indonesia, Yogyakarta

Profesi:

Dirigen Molucca Bamboowind Orchestra, komponis, musikus, dan Pegawai Negeri Sipil

Sumber :Beritagar.id