Naiknya Iuran BPJS, Presiden Diberi Saran yang Salah
Oleh : Hasrul Buamona,SH,M.H (Advokat dan Direktur LPBH NU Kota Yogyakarta)
Dalam penulisan ini, hanya menyampaikan pokok-pokok utama sebagaimana yang penulis sampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh PSHK Fakultas Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 11 Desember 2019, dimana turut diundang juga BPJS D.I Yogyakarta, IDI Yogyakarta dan Biro Hukum RSUP Sarjito.
Menjadi polemik, ketika Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres No.75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan, yang mana terjadi kenaikan iuran baik itu perawatan kelas I, II dan III.
Kenaikan tersebut mulai berlaku pada 1 Januari 2020, sudah pasti Perpres tersebut, mendapat banyak penolakan tidak hanya dari masyarakat, namun juga dari kalangan profesional dan kalangan akademis di kampus.
Jaminan sosial secara konstitusional diatur dalam Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.
Pasal inilah, yang menjadi dasar konstitusional lahirnya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan lahirnya UU No 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) merupakan amanah dari UU SJSN.
Perlu diketahui bahwa dalam program BPJS Kesehatan, kedudukan Kementerian Kesehatan sebagai regulator dan rumah sakit sebagai eksekutor yang menjalankan program BPJS Kesehatan.
Menurut Menteri Keungan Sri Mulyani, salah satu penyebab defisit BPJS Kesehatan yakni peserta mandiri yang hanya mendaftar pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang berbiaya mahal, namun setelah sembuh berhenti membayar iuran. Banyak PBPU/peserta mandiri yang tidak disiplin membayar iuran (www.cnbcindonesia.com, tanggal 12 September 2019).
Namun menurut penulis, akar masalahnya, sejak awal para pembentuk undang-undang yakni Presiden dan DPR-RI, telah salah dalam membangun pranata hukum dalam bidang pelayanan kesehatan, sehingga memunculkan tumpang tindih norma hukum dan tidak sinergi produk undang-undang dalam bidang pelayanan kesehatan. Bahkan telah terjadi pelanggaran terhadap nilai-nilai filosofis Pancasila.
Dalam pengkajian penulis, persoalannya UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit) yang merupakan implementasi dari Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 28H UUD 1945, sama sekali tidak mendukung program kesehatan jaminan sosial sebagaimana termuat dalam UU SJSN dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
Mengapa demikian? dikarenakan dalam konsiderans UU Rumah Sakit tidak memuat UU SJSN dan UU Kesehatan sebagai dasar pertimbangan/konsiderans lahirnya UU Rumah Sakit.
UU Rumah Sakit dalam pengkajian penulis, sebagaimana termuat dalam Risalah Rapat RUU Tentang Rumah Sakit Tahun Sidang 2007-2008, memang sengaja di desain mandiri untuk menjadi wadah kapitalisme dalam bidang pelayanan kesehatan, sehingga sampai kapan pun, tidak bisa di paksakan secara hukum untuk rumah sakit menjalankan program jaminan sosial BPJS Kesehatan.
Penting untuk diketahui bahwa Presiden dan DPR-RI dalam risalah rapat pembahasan RUU Rumah Sakit tidak pernah membahas untuk mensinergikan UU Rumah Sakit dengan UU SJSN dan UU Kesehatan.
Sehingga apabila kembali membuka UU Rumah Sakit, tidak akan ditemukan baik dalam konsiderans dan pasal dalam UU Rumah Sakit yang memuat Pasal 28H ayat (3) UUD 1945, UU SJSN dan UU kesehatan, sebagai wujud implementasi jaminan sosial kepada masyarakat.
Hal ini berdampak rumah sakit dapat bebas menolak program BPJS Kesehatan, sehingga tidak akan pernah mendukung programan jaminan sosial BPJS Kesehatan sebagaimana amanah Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 dan UU SJSN.
Selain tidak ada sinergitas pranata hukum, aturan pajak alat kesehatan dan kefarmasian yang terbilang masih tinggi. Sekiranya hal-hal ini yang menjadi akar masalah kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Menurut penulis, Presiden Joko Widodo telah diberi masukan yang kurang tepat bahkan salah oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional dan Menteri Kesehatan, tanpa memperhatikan pranata hukum yang tidak sinergi dan nilai pajak alat kesehatan dan kefarmasian yang tinggi.
Hal ini berdampak pada kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2010. Ke depan Presiden dan DPR-RI harus membuat UU Rumah Sakit yang baru, yang sesuai filosofis-konstitusional dan harus bersinergi dengan UU SJSN dan UU Kesehatan.
Presiden Joko Widodo juga harus memerintahkan Menteri Keuangan untuk mengeluarkan kebijakan pengurangan nilai pajak alat kesehatan dan kefarmasian. Hakikatnya jaminan sosial memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, bukan malah menjadi beban ekonomi bagi masyarakat. (***)