Dalam rapat-rapat anggaran dan legislasi, kami terus mendorong agar masalah ini ditanggapi secara struktural, bukan simbolik. Kami mendesak pemerintah mempercepat implementasi ekonomi sirkular, di mana produsen diwajibkan bertanggung jawab atas limbah plastik yang mereka hasilkan melalui mekanisme Extended Producer Responsibility (EPR).

Sayangnya, regulasi ini masih bersifat sukarela, belum mengikat secara hukum, dan tidak disertai dengan sanksi yang tegas. Akibatnya, hanya segelintir perusahaan yang secara sukarela ikut serta, sementara sisanya terus menjejalkan produk-produk berbungkus plastik ke pasar tanpa mempertimbangkan nasib bungkus tersebut setelah dibuang.

Di sisi lain, pemerintah daerah juga menghadapi dilema struktural. Banyak kabupaten/kota di Maluku belum memiliki sistem pengelolaan sampah terpadu, apalagi yang berbasis daur ulang. Sampah plastik bercampur dengan sampah organik, menumpuk di tempat pembuangan sementara, lalu dibakar atau hanyut ke laut.

Ini adalah akibat dari minimnya anggaran, keterbatasan teknologi, dan tidak adanya intervensi negara yang berpihak secara serius pada wilayah kepulauan. Kita tidak bisa terus-menerus menuntut warga mengubah perilaku sementara negara tidak menyediakan infrastruktur dan regulasi yang memadai.

Dari sisi legislasi, DPR RI sebenarnya telah mendorong hadirnya payung hukum pengelolaan sampah yang lebih kuat, termasuk penguatan peran pemerintah pusat dalam mendukung kabupaten/kota yang memiliki karakteristik geografis khusus seperti kepulauan. Namun, proses politik selalu penuh tarik-menarik.

Kepentingan industri besar kerap menjadi kendala dalam mendorong regulasi yang membatasi produksi plastik. Kita berhadapan dengan kenyataan bahwa ekonomi yang masih bergantung pada bahan baku plastik murah membuat keputusan politik untuk mengurangi produksi plastik tidak populer di mata sebagian pengambil kebijakan.

Di tengah semua ini, saya meyakini bahwa isu polusi plastik bukan hanya soal lingkungan. Ia adalah soal keadilan sosial dan ekologis. Ketika masyarakat adat dan warga pesisir menjadi korban dari sistem produksi dan konsumsi yang tidak adil, maka ini adalah bentuk ketimpangan yang harus dilawan.