Jangan sampai dunia hanya memperingati Hari Lingkungan Hidup dengan slogan indah, tetapi membiarkan ketimpangan ini terus berlangsung. Saat kita menyuarakan penghentian polusi plastik, kita harus jujur menyasar siapa yang bertanggung jawab, dan siapa yang paling terdampak.

Oleh karena itu, saya mengajak semua pihak—pemerintah pusat, DPR, industri, dan masyarakat sipil—untuk tidak berhenti pada kampanye permukaan. Kita harus menuntut kebijakan yang mengikat dan berdampak nyata.

Mulai dari pelarangan plastik sekali pakai, insentif bagi industri daur ulang, hingga pembangunan infrastruktur pengelolaan sampah di wilayah kepulauan. Kita juga harus mendukung riset dan inovasi bahan alternatif yang ramah lingkungan serta menciptakan ekosistem ekonomi hijau yang memberdayakan masyarakat lokal.

Sebagai anggota Komisi IV yang kerap bersentuhan langsung dengan sektor kelautan dan perikanan, saya melihat urgensi untuk menyelamatkan laut kita dari krisis plastik ini bukan hanya sebagai persoalan generasi hari ini, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab antargenerasi.

Kita tidak mewarisi laut dari nenek moyang kita, kita meminjamnya dari anak cucu kita. Maka tidak ada pilihan selain bertindak sekarang, dengan kebijakan yang tegas, sistem yang adil, dan komitmen yang tulus.

Jika Hari Lingkungan Hidup 2025 ingin menjadi momen perubahan, maka saatnya kita berhenti menyalahkan masyarakat kecil dan mulai menuntut tanggung jawab sistemik. Laut Maluku, dan lautan Indonesia secara keseluruhan, tidak boleh menjadi tempat sampah dunia. Mereka harus tetap menjadi sumber kehidupan, bukan korban dari kelalaian kita bersama (*)