Paradoks Polusi Plastik: Ketika Laut Kita Jadi Tempat Sampah Dunia

Oleh: Saadiah Uluputty (Anggota DPR RI Komisi IV, Dapil Maluku)
Setiap 5 Juni, dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia dengan semangat membakar kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga bumi sebagai satu-satunya rumah kita. Tahun 2025, tema global yang diangkat adalah “Hentikan Polusi Plastik” atau Ending Plastic Pollution.
Sebuah tema yang tampak menggugah, tetapi sekaligus menyisakan ironi mendalam—terutama bagi kami yang berasal dari wilayah kepulauan seperti Maluku, di mana laut bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga identitas dan masa depan. Namun kini, laut kami sedang sekarat, dijejali sampah yang bukan kami hasilkan sepenuhnya.
Dalam ruang sidang dan rapat-rapat kerja di Komisi IV DPR RI yang membidangi kehutanan, pertanian, kelautan, dan perikanan, kami berkali-kali mendengar data yang mengerikan: menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan sekitar 33,79 juta ton timbulan sampah sepanjang 2024.
Dari jumlah tersebut, 19,74% atau sekitar 6,67 juta ton merupakan sampah plastik. Sampah plastik kini menjadi jenis sampah terbesar kedua setelah sisa makanan, yang mencapai 39,36% dari total timbulan sampah nasional.
Data ini bukan hanya statistik. Ini adalah fakta yang menghantam realitas nelayan di Pulau Seram, pesisir Banda, hingga sudut-sudut pantai di Pulau Buru. Mereka tidak lagi hanya menarik ikan dari laut, tetapi juga membawa naik sandal bekas, kemasan mi instan, botol plastik, dan serpihan mikroplastik yang tak terlihat kasat mata namun tertanam di daging ikan yang kita konsumsi.
Tema "Hentikan Polusi Plastik" memang tampak progresif. Namun, ia juga menyisakan sebuah pertanyaan penting: siapa yang harus menghentikannya, dan bagaimana caranya? Sayangnya, narasi yang dibangun kerap menyederhanakan masalah seolah-olah cukup dengan mengganti kantong plastik dengan tas kain, atau menolak sedotan plastik di kafe. Padahal, akar persoalannya jauh lebih kompleks.
Polusi plastik bukan sekadar soal perilaku konsumen, tetapi terutama soal industri—industri yang terus memproduksi plastik dalam skala masif tanpa mekanisme tanggung jawab yang sepadan.
Sebagai wakil rakyat dari dapil kepulauan, saya menyaksikan bagaimana ekosistem laut di Maluku menghadapi beban yang tidak proporsional. Di saat warga lokal berusaha menjaga laut mereka, bahkan dengan kearifan lokal dan praktik nelayan ramah lingkungan, datanglah kiriman sampah dari daerah lain, bahkan dari luar negeri.
Banyak riset telah membuktikan bahwa sebagian besar sampah di laut Indonesia berasal dari kawasan urban dan perkotaan besar, lalu hanyut mengikuti arus laut ke wilayah-wilayah kepulauan yang tidak memiliki fasilitas penanganan sampah memadai.
Bahkan ada penelitian yang menyebut bahwa sebagian sampah plastik yang ditemukan di pesisir Maluku memiliki label dalam bahasa asing, menunjukkan bahwa laut kita sedang menjadi tempat pembuangan sampah global secara diam-diam.