BERITABETA, Ambon – Pemerintah daerah (Pemda) baik provinsi maupun Kabupaten Buru, dinilai tidak serius menangani aktifitas penambangan  di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Buru. Terutama terkait dengan dampak pencemaran yang ditimbulkan  maupun konflik di masyarakat.

“Sejak Gubernur Karel Albert Ralahalu hingga Said Assagaff maupun Bupati Buru, Ramli Umasuggy, kami sudah mengusulkan dukungan dana untuk penelitian dampak negatif penggunaan mercuri dan sianida terhadap lingkungan tetapi anggarannya tidak pernah ada,” kata pakar lingkungan Universitas Pattimura, Dr. Justinus Male di Ambon, Kamis (25/10/2018).

Pernyataan Justinus disampaikan sebagai pembicara dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) yang diselenggarakan Komnas HAM RI Perwakilan Maluku bekerja sama dengan Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan HAM Komnas HAM RI.

Kegiatan FGD ini mengusung tema pemantauan hak masyarakat hukum adat dan jaminan hak atas lingkungan hidup yang sehat dalam penanganan kasus dampak lingkungan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Gunung Botak, Pulau Buru.

Menurut dia, untuk mengambil satu sampel hingga proses penelitian membutuhkan dukungan dana yang memadai namun pemda selalu menyatakan tidak ada anggaran, seperti halnya pihak rektorat.

Sampel yang diambil sangat beragam, mulai dari endapan lumpur di sungai dan laut, ikan, hewan ternak, hingga pemeriksaan sampel darah dan rambut manusia.

Sehingga pada 2015 lalu Justinus menggalang dana sendiri dengan mengerahkan sejumlah mahasiswa. Penggalangan dana dilakukan  dengan menggelar bazar menjual roti. Hanya untuk mengumpulkan dana guna penelitian kerusakan lingkunangan yang parah di Gunung Botak dan sekitarnya.

Hasilnya mengagetkan, karena ikan, ternak, sayuran, hingga manusia sudah tercemar bahan kimia beracun, dan dampaknya akan terlihat setelah beberapa tahun ke depan.

“Harusnya pemerintah melakukan perjalanan dinas ke Minamata (Jepang) untuk melihat kondisi riilnya akibat penggunaan bahan kimia seperti apa di sana,” ujarnya.

Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Maluku, Benedictus Sarkol mengatakan telah melakukan pengamatan dan memantau secara seksama kondisi lingkungan hidup dan konflik sumber daya alam serta agraria yang berdampak sosial di masyarakat hukum adat setempat sejak 2012.

“Penambangan emas dimulai sejak Oktober 2011 lalu dan sudah ada pengaduan masyarakat adat Pulau Buru Bersatu tentang pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat, baik menyangkut pelanggaran atas lahan maupun konflik antarawarga adat dengan penambangan,” katanya.

Sehingga melalui kegiatan diskusi ini Komnas HAM akan merekomendasikan sejumlah solusi penting di antaranya mengusulkan pembentukan pusat krisis, karena penanganan masalah kerusakan lingkungan dan sosial di Gunung Botak sudah terlambat, serta mendorong dibentuknya sebuah peraturan daerah agar ada dukungan dana.

Lebih Dari Kasus Minamata

Di awal 2018 silam,  peneliti dari Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Prof Dr.rer.nat. Abraham Samuel Khouw,M.Phill juga  menyebutkan Gunung Botak akan mengalami hal serupa dengan tragedi yang terjadi di Minamata, Jepang.  Hal ini terjadi sebagai dampak dari penggunaan merkuri dalam jumlah besar untuk pengolahan emas ilegal di kawasan Gunung Botak.

Aktifitas penambangan ilegal di kawasan Gunung Botak, Pulau Buru, sebelum diterbitkan.

Bahkan menurut Dekan Fakultas Perikanan Unpatti Ambon ini, merkuri dari pengolahan emas ilegal di Gunung Botak lebih berbahaya dari kasus Minamata.

Tanda – tanda ke arah itu sudah ada di depan mata.  Kata Samuel, contohnya,  ditemukan tiga ekor  hewan ternak jenis kerbau mati mendadak saling berdekatan  setelah minum limbah merkuri di  lokaksi  pengolahan emas ilegal sistem rendaman.

“Kalau saya kasus minamata belum terlalu parah sebenarnya dibandingkan dengan kasus Gunung Botak. Minamata itu kan laut tercemar, lalu dia (manusia) makan ikan atau makan siput dari situ. Tapi di Gunung Botak ini sudah nyata-nyata, kita belum sampai makan siput atau makan ikannya saja sudah ada binatang yang mati,  kalau di Minamata tidak ada binatang yang mati,” kata Samuel.

Ia  mengungkapkan berdasarkan gambar satelit, perairan  Teluk Kayeli Pulau Buru kini  berwarna seperti cermin, kaca. Itu karena ada merkuri di permukaan air laut. Otomatis bila merkuri sudah sampai di perairan maka akan berubah menjadi racun yang sangat keras.

Sebagai seorang ilmuwan, Samuel mengatakan, sudah sering mengingatkan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku dan aparat keamanan terkait ancaman  merkuri di Pulau Buru akibat aktivitas penambangan ilegal menggunakan bahan kimia. (BB/ANT/DIO)