BERITABETA, Ambon – Kondisi krisis air bersih yang terjadi di Pulau Ai, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, akhirnya menjadi perhatian DPRD Maluku.  DPRD Maluku melalui Komisi C akan menjadikan masalah ini sebagai bagian dalam pembahasan APBD 2019, sehingga persoalan air bersih di pulau itu akan diusulkan dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) 2019.

Anggota Komisi C DPRD Maluku Habiba Pelu memastikan itu kepada wartawan di Ambon, Jumat (26/10/2018).

“Kebutuhan air bersih ini merupakan kebutuhan dasar masyarakat sehingga persoalan yang menimpa mereka di Pulau Ai, sudah kita temukan dan akan menjadi pembahasan di komisi,” kata Habiba Pelu.

Menurut dia, pemerintah dan DPRD harus benar-benar memperhatikan persoalan masyarakat, terutama yang ada di Pulau Ai terkait dengan krisis air bersih.

“Bayangkan saja kalau mereka mengalami suasana cuaca panas akibat musim kemarau berkepanjangan dan hari ini(Jumat) kita fokus mendiskusikan dan memasukannya dalam RAPBD 2019,” ujarnya.

Dari sisi daerah pemilihan (Dapil) memang menjadi tanggung jawab, tetapi menyangkut masalah kemanusiaan, maka tidak lagi melihat persoalan Dapil, tetapi tanggungjawab pembahasan di komisi karena pastinya DPRD akan meminta Pemprov Maluku memperhatikan masalah ini secara serius.

Sementara Kepala Desa Ai, Aksin Ladusu mengatakan, pulau tersebut tidak ada sumber air dan warga hanya mengandalkan air hujan.

“Kami hanya berharap hujan saja dan tertampung di embung-embung sehingga kalau bisa air dalam penampungan ini dapat diolah menjadi bersih dan layak untuk diminum,” katanya.

Alternatif lainnya, pemerintah bisa menyediakan mesin pengolah air asin menjadi air tawar untuk dikonsumsi sekitar lebih dari 500 kepala keluarga(KK) atau 1.000 jiwa lebih.

“Bila mesin pengolah air asin menjadi air tawar ini masih lama proses pengadaannya, minimal kami mengharapkan bantuan pemerintah mendatangkan sejumlah tangki penampug air 5.000 liter dengan mesin pompa,” katanya.

Ilustrasi kirisis air bersih

Sulitnya air bersih di Pulau Ai, ini pernah menimbulkan prahara bagi warga setempat. Seorang ayah bersama anaknya ditemukan tewas tenggelam saat mengambil air dalam embung-embung pada pekan lalu.

Krisis air bersih di Pulau Ay, sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Namun, hingga kini pemerintah daerah tidak juga memerhatikan nasib ribuan warga penghuni pulau tersebut.

Ismawati Djawar, salah seorang warga Pulau Ay, pernah menceritakan ikhal krisis air di pulau itu kepada kompas.

Kata dia, semula mata air yang menjadi sumber air bersih untuk keperluan warga ada di pulau tersebut.  Saat itu persediaan air bersih belum menjadi masalah. Namun dalam masa penjajahan Belanda satu-satunya sumber mata air di pulau itu tiba-tiba kering sehingga warga hingga kini mengalami kesulitan air bersih.

”Ceritanya begini, dulu orangtua kami itu tidak senang dengan kehadiran Belanda di pulau kami ini. Para orangtua dulu lalu berdoa dan meminta agar sumber mata air itu hilang sehingga Belanda segera angkat kaki dari pulau Ay. Semua orang di sini percaya dengan cerita itu,” kata Ismawati.

Menurut Ismawati, sejak itulah warga Pulau Ay terus mengandalkan air hujan untuk keperluan mendapatkan air bersih. Tak pelak saat musim kemarau panjang tiba warga harus mendapatkan air bersih dengan cara menyeberangi lautan.

“Sebenarnya kita di sini sudah terbiasa, karena setiap rumah warga disini ada bak penampung air. Jadi saat turun hujan kita langsung menampungnya di bak itu,”ujarnya.

Namun kata dia kondisinya berubah dalam beberapa bulan terakhir setelah kemarau ekstrim melanda Pulau Ay. Akibatnya persediaan air bersih warga kini telah kehabisan dan mereka terpaksa harus membeli air dari pulau seberang.

“Sudah sebulan lebih kita beli air di Pulau Neira, kalau dengan botol bekas minyak goreng itu harganya Rp 1.000 kalau dengan jerigen 30 liter itu harganya Rp 5.000,” ujarnya. (BB/DIO)