Penipuan Kaum Rasis Dengan Dalih HAM

Oleh : Mariska Lubis (Penulis Buku)
MASIH ingat masa-masa kuliah di luar negeri, tempat di mana sepertinya Hak Asasi Manusia itu begitu penting dan diutamakan. Sayang semua itu hanyalah sekedar untaian kata manis belaka, pada fakta dan kenyataannya, rasisme dan penghinaan terhadap bangsa berkulit berwarna begitu terasa.
Yang paling menyedihkan bagi saya, mereka juga melakukannya bahkan terhadap sesama warga negara mereka sendiri, yang jelas pribumi dan bukan pendatang, hanya karena kulit mereka berwarna.
Saya masih ingat ketika seorang warga Aborigin di Australia meraih gelar doktor, dan dia adalah orang Aborigin pertama yang mendapatkan gelar tersebut.
Saya bertanya kepada kawan-kawan, “Mengapa baru pertama? Ini sudah hampir di akhir abad 20, sementara warga kulit putih sudah lama mendapatkan gelar doktor, sudah banyak pula. Kampus, toh, sudah lama berdiri, berabad-abad lalu sudah ada”.
Seorang kawan sekelas warga Australia menjawab, “Karena mereka malas sekolah. Mereka lebih suka mabuk-mabukan dan mengemis”. Oh!
Saya tidak menerima jawaban dia begitu saja. Kebetulan saya mengambil sebuah kelas politik yang membahas budaya dan masyarakat indigenous. Topik soal warga Papua pun sempat dibahas di sana, warga Papua dianggap sebagai kaum indigenous people di Indonesia. Saya sempat bingung juga, benar sebagian memang masuk kaum indigenous, sama seperti Baduy dan suku-suku di daerah terpencil lainnya, tetapi tidak semua suku di Papua bisa dianggap indigenous. Toh sudah sejak lama juga, yang menjadi pejabat dan orang-orang penting di sana adalah orang Papua sendiri, bukan dari daerah lain. Sementara di Australia atau Amerika, mana ada wilayah yang diberikan kuasa penuh kepada penduduk pribumi di sana?!
Lalu saya pun mulai membuka-buka berbagai buku, journal, dan berbagai tulisan tentang bagaimana perilaku pemerintah Australia ini terhadap kaum pribumi di sana, yaitu masyarakat Aborigin. Saya baru paham bahwa pemerintah Australia memberikan tunjangan lebih besar kepada masyarakat Aborigin, apalagi kalau mereka tidak sekolah. Masyarakat kulit putih yang menikah dengan masyarakat Aborigin pun mendapat tunjangan lebih besar daripada menikah dengan kulit putih. Bagi saya, inilah bentuk pembodohan dengan dalih keadilan dan hak asasi manusia. Selalu ada cara untuk menipu!
Jika sekarang Australia asyik saja berteriak soal Papua, saya hanya ingin bertanya, “Kapan kalian pun memberikan kemerdekaan terhadap masyarakat Aborigin? Kapan kalian berikan tempat pada masyarakat Aborigin untuk memimpin Australia? Tidak usah ikut campur urusan orang lain, buktikan saja dulu kalian memang bukan kaum rasis yang selalu menipu dengan dalih HAM!”.
Semoga saja, rakyat Papua mengerti dan paham, betapa saya sebenarnya sayang dan peduli. Saya tak ingin Papua itu ditipu oleh mereka! Sekarang bukan waktunya untuk sendiri-sendiri, lebih baik kita bersama bergandengan tangan menuju masa depan yang lebih baik dan meraih kemerdekaan kita bersama (***)