Perspektif Psikologi, Upaya Mengendalikan Pengendara Agresif di Maluku
Oleh : Muh Kashai Ramadhani Pelupessy (Magister Psikologi Sains)
DIT LANTAS Polda Maluku menunjukkan ada sekitar 179 jiwa meninggal akibat kecelakaan. Data itu diserap dari 398 kasus kecelakaan yang terjadi di Maluku. Kalau di hitung dari data itu, maka terlihat tingkat korban meninggal dunia akibat kecelakaan sebesar 45% dari 179 orang, dan 55% dari 219 orang lainnya ialah mereka yang mengalami luka ringan atau bahkan berat. Artinya, resiko kecelakaan di Maluku masih sangat tinggi.
Jika diperhatikan, ada dua bentuk kecelakaan sehingga pengendara meninggal dunia atau mengalami luka-luka. Pertama, kecelakaan karena di tabrak pengendara lain. Kedua, kecelakaan karena menabrak orang lain.
Sampai detik ini, belum ada data yang detail menjelaskan kedua bentuk kecelakaan tersebut di atas. Hanya saja, menurut Dit Lantas Polda Maluku bahwa penyebab utama kecelakaan ialah miras dan kondisi jalan yang berkelok-kelok, sehingga membuat pengendara sering ugal-ugalan akhirnya menimbulkan kecelakaan.
Kalau miras yang menjadi penyebab utama kecelakaan, maka bisa jadi kecelakaan ini masuk dalam bentuk kedua sebagaimana penjelasan di atas ialah kecelakaan menabrak orang lain sehingga jatuh korban. Namun, kalaupun jatuhnya korban disebabkan karena ditabrak orang lain, karena faktor “sengaja” dari pengendara, maka bisa jadi bukan karena miras melainkan ada motif lainnya.
Ulasan ini masih spekulatif karena belum ada data yang detail dari Dit Lantas Polda Maluku, sehingga penarikan kesimpulan dalam penanganan kasus kecelakaan di Maluku pun masih absurd.
Terlepas dari ulasan spekulatif di atas, sebenarnya ada faktor lainnya yang juga ikut serta dalam kasus kecelakaan lalulintas di Maluku namun jarang di lirik, yakni faktor pengendara agresif (istilah psikologi: aggressive driving). Faktor ini bisa mendorong pengendara menabrak orang lain atau bahkan “sengaja” di tabrak orang lain karena motif mencari sensasi akibat kondisi emosional yang tidak stabil.
Aggressive driving ini merupakan pola disfungsi dari perilaku sosial yang mengganggu keamanan publik. Ada beberapa pendapat dari para ahli terkait aggressive driving ini, seperti Tasca mengatakan bahwa perilaku mengemudi dikatakan agresif jika dilakukan dengan “sengaja”, cenderung meningkatkan resiko tabrakan yang dimotivasi ketidaksadaran dan permusuhan.
Sedangkan, menurut National Highway and Traffic Safety Administration (NHTSA) bahwa aggressive driving adalah menggunakan kendaraan dengan cara membahayakan orang lain. Di samping membahayakan orang lain, aggressive driving ini juga dapat membahayakan diri sendiri, seperti upaya “sengaja” bunuh diri saat mengendarai kendaraan (Gray, Triggs, dan Haworth).
Jadi, aggressive driving adalah perilaku mengemudi yang “sengaja” meningkatkan resiko kecelakaan, baik membahayakan diri sendiri atau orang lain.
Ada beberapa faktor yang membuat seorang pengendara menjadi agresif. Pertama, kebanyakan aggressive driving ini melibatkan pengemudi laki-laki berusia 17 sampai 25 tahun. Kedua, tidak ada pengontrolan yang ketat dari norma sosial. Ketiga, kondisi jalan yang macet sehingga membuat pengendara menjadi mudah marah dan kesal. Dan keempat, ketidakstabilan emosional seperti pengontrolan diri yang lemah. Lantas, bagaimana solusinya?
Jika kita amati keempat faktor di atas, maka solusinya ada di balik keempat faktor tersebut. Pertama, jika aggressive driving disebabkan pengemudi laki-laki berusia 17 sampai 25 tahun, maka solusinya ialah harus ada pengontrolan yang ketat dari norma sosial. Misalnya, pemberian dukungan emosional secara positif baik dari keluarga atau masyarakat dengan pernyataan, “pengendara yang baik ialah mereka yang selalu melindungi nyawa orang lain dan diri sendiri”.
Jika diamati, pernyataan itu tidak ada kata “tidak”. Hal ini bertolak dari beberapa temuan psikologis bahwa kata “tidak” cenderung membuat individu sering melanggar. Misalnya, kalimat “tidak boleh sentuh ini!” adalah pernyataan yang sering di langgar setiap individu, karena kata “tidak” dibalik kalimat itu cenderung membuat kita “penasaran” sehingga terdorong untuk menyentuh.
Berdasarkan hal tersebut, maka penghilangan kata “tidak” dibalik setiap pernyataan norma sosial adalah sesuatu hal yang sangat penting dan sebagai langkah awal menangani masalah aggressive driving pada laki-laki berusia 17 sampai 25 tahun.
Kedua, jika aggressive driving disebabkan oleh jalan yang macet maka solusinya ialah dengan pengaturan teknik sipil yang jelas di jalan raya. Misalnya, penulis sering perhatikan di jalan Kebun Cengkih, tepatnya di pertigaan ke arah SMP 14.
Jalan ini menghendaki arus berlawanan. Dengan kondisi jalan yang sempit di tambah padatnya kendaraan, maka sangat mempengaruhi kondisi emosional pengendara menjadi tidak stabil sehingga mudah marah dan kesal.
Padahal, ada jalan tanjakan gunung Malintang, yang sebetulnya bisa dilalui kendaraan Kebun Cengkih atau IAIN turun melalui jalur ini kembali ke kota tanpa melalui jalan utama Kebun Cengkih. Sedangkan yang dari kota ke Kebun Cengkih atau IAIN dapat melalui jalan nanjak dari Galunggung.
Jalur itu di buat seperti melingkar, yang dari kota ke Kebun Cengkih melalui jalur utama naik dari Galunggung, sedangkan yang dari Kebun Cengkih atau IAIN ke kota turun melalui jalan gunung Malintang. Artinya, jika alur lalulintas ini dapat di atur sedemikian rupa maka dapat meminimalisir resiko kecelakaan yang disebabkan oleh ketidakstabilan emosional akibat kemacetan.
Terakhir, ketiga yaitu apabila aggressive driving disebabkan oleh ketidakstabilan emosional, maka solusinya ialah melalui kematangan emosional. Hal ini bersifat subjektif, karena kematangan emosional sangat berkaitan dengan pengalaman si pengendara sendiri. Meskipun demikian, kematangan emosional ini dapat juga di tingkatkan melalui aturan alur lalulintas sebagaimana yang di jelaskan di atas.
Piaget mengatakan bahwa kematangan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol dan mengendalikan emosinya dengan baik. Kematangan emosional seseorang dapat di lihat dari reaksinya saat menghadapi masalah seperti macet, apakah ia akan marah ataukah tidak. Seorang yang matang emosinya tidak akan mudah marah, melainkan ia akan menilai masalah macet ini secara kritis sebelum bereaksi secara emosional-agresif.
Hurlock, psikolog perkembangan, menyarankan salah-satu teknik membangun kematangan emosional seseorang ialah dengan tertawa. Coba saja, ketika lagi di jalan raya, Anda tertawa saat melihat kondisi jalan macet, maka dengan sendirinya Anda akan merasa bahagia.
Berdasarkan beberapa temuan psikologis bahwa tertawa dapat merangsang zat kimiawi serotonin di otak, sehingga membuat individu merasa bahagia. Kalau sudah bahagia maka tentu tidak akan mudah marah. Meskipun demikian, tertawa di sini bukan tanpa dasar, melainkan tertawa karena kritis melihat ada masalah kemacetan dan berusaha untuk mencari solusinya. Inilah bentuk tertawa yang kritis emosional.
Itulah sedikit ulasan dari perspektif psikologis dalam upaya mengendalikan pengendara agresif di tanah Maluku. Semoga tulisan ini dapat memberi sedikit manfaat bagi semuanya. Sekian. (***)