Petani Kecil dan Rantai Nilai
Mereplikasi Model Pemberdayaan Maluku ke Aceh
PENULIS mencoba menuangkan catatan perjalanan selama ikut dalam membantu pelaksanaan “Program Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil (PKPK)” sebuah kegiatan Pemberdayaan Masyarakat berbasis Pertanian melalui konsepsi Rantai Nilai (Value Chain) dengan lebih dari 13.000 KK penerima manfaat (targetted beneficiaries) pada 104 desa di 5 Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku.
Program yang diinisiasi oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian melalui Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Maluku dan lima Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota: Maluku Tengah, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Buru dan Buru Selatan sebagai program implementor (pelaksana program).Melalui tulisan ini Penulis ingin menyampaikan satu Courtesy (catatan baik) pelaksanaan program yang penuh dengan best practise & lesson learned.
Program ini memiliki manfaat dan nilai bagi masyarakat, khususnya saudara-saudara kita Petani dan Nelayan. Guru-guru kita semasa sekolah selalu menceriterakan bahwa kita adalah negeri agraris dan nenek moyang kita adalah seorang pelaut, karena Bangsa ini di anugerahkan Tuhan lautan yang luas dan lahan yang subur.
Tidak banyak daerah yang memperoleh kesempatan di intervensi program pemberdayaan masyarakat berbasis pertanian sebesar ini, dengan melibatkan begitu besar penerima manfaat serta berbagai agenda kegiatan dan komponen program yang terstruktur, diperkirakan tidak lebih 10% dari 514 Kabupaten/Kota di Indoensia.
Maluku adalah Provinsi selain Maluku Utara yang memperoleh kesempatan ini. Tentu ada alasan yang mendasarinya, mengingat Kawasan Indonesia Timur (KTI) merupakan salah satu agenda pembangunan yang menjadi fokus Pemerintah Pusat dalam beberapa tahun terakhir, selain KTI merupakan wilayah yang sangat kaya sumber daya dari berbagai sektor, khususnya sektor pertanian.
Sektor Riil
Program ini di yakini akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sektor riil melalui usaha produktif berbasis pertanian petani dengan kelembagaan tani/nelayan yang kuat karena mereka memperoleh pelatihan, fasilitasi dan pendampingan pada masa program dilaksanakan dalam kurun waktu 7-8 tahun untuk menstimulasi peningkatan pertumbuhan ekonomi regional. Setiap kali dalam perjalanan menyeberangi laut dan meneruskan dengan perjalanan darat untuk bertemu masyarakat di desa-desa di Maluku, yang terlintas di dalam benak Penulis adalah gampong (kampung) halaman di Aceh. Sebagai seseorang yang memiliki darah Aceh, selama berada di Maluku untuk bekerja
membantu Kementerian Pertanian, waktu 7 tahun berlalu terasa begitu cepat, bagi Penulis Maluku sudah seperti kampung halaman sendiri rasa persaudaraan yang tinggi, masyarakatnya yang begitu ramah dan bersahaja seperti sebuah karunia Tuhan yang tidak ternilai dan mungkin tidak banyak seseorang yang memiliki kesempatan seperti ini.
Karakter dan Budaya
Penulis memiliki point of view bahwa karakter, sifat, budaya antara masyarakat Maluku dan Aceh memiliki ciri khas yang tidak jauh berbeda bila tidak ingin dikatakan nyaris sama. Padahal sesungguhnya rentang jarak yang amat jauh antara Maluku dan Aceh jika dilalui dengan penerbangan dari bandara udara Pattimura ke bandar udara Sultan Iskandar Muda (SIM) di Aceh diperkirakan menempuh 7 jam perjalanan.
Sektor Pertanian dan Kontribusinya
Sektor pertanian kedua Provinsi tersebut merupakan sektor fundamental dan dominan untuk diharapkan mampu berkontribusi pada pendapatan daerah. Berdasarkan data BPS tahun 2017 persentase PDRB (Product Domestic Regional Brutto) Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha, sub sektor pertanian berkontribusi 7,75% dari angka agregasi PDRB Maluku sebesar 5,99%, masih lebih kecil dari industri makanan dan minuman yang tergolong pada industri
pengolahan (manufacturing). Data BPS tahun 2017 Persentase PDRB Provinsi Aceh Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha Provinsi Aceh, sub sektor pertanian, kehutanan dan perikanan berkontribusi sebagai penyumbang PDRB terbesar yaitu 5,21% dari angka agregasi sebesar 4,19% atau masih lebih kecil dari sektor pertambangan sebesar 5,65%.
Fenomena Global
Dunia sedang dilanda isu global tentang kekhawatiran kerawanan pangan (food vulnerability) akibat dampak eskalasi laju pertumbuhan penduduk yang diperkirakan akan mencapai 9 miliar lebih pada 2040, merupakan ancaman serius yang patut disikapi oleh Pemerintah melalui program pertanian yang terstruktur dan terintegrasi untuk memastikan kesinambungan pertanian (sustainable agriculture).
Krisis pangan bukanlah sebuah fiksi, dunia telah mengalami kontraksi akibat terjadinya krisis pangan bermula dari zaman Yunani kemudian di Romawi hingga berlanjut pada sejarah terjadinya krisis pangan di eropa pada abad pertengahan tahun 1315 hingga 1317. Eropa mengalami kelaparan yang kemudian disebut sebagai the great famine hingga Tahun 1972 terjadi krisis pangan yang terjadi di hampir 40 negara akibat dari kualitas panen yang tidak memuaskan dan berakibat pada langkanya stok pangan (buffer stock).
Peran Petani
Pepatah dalam bahasa Aceh“Pang ulee buet ibadat, Pang ulee hareukat meugoe” memiliki makna bahwa “Sebaik-baiknya perbuatan adalah ibadah dan sebaikbaiknya profesi adalah petani”, sebuah frasa yang memiliki makna filosofis bahwasannya tangan dan tubuh Petani langsung berinteaksi dengan tanah tempat dimana manusia akan kembali pada saatnya nanti.
Petani harus berdaya dan diberdayakan karena mereka aktor atau pelaku yang dapat memastikan distribusi kebutuhan dasar dapat diterima oleh masyarakat perkotaan. Penulis ingin mengatakan “kuatnya pondasi sebuah negara adalah karena petaninya mandiri dan berdaulat,” profesi petani memerlukan kepastian agar tidak ditinggalkan seperti fenomena yang terjadi pada beberapa wilayah di negeri ini.
Pemberdayaan Masyarakat berbasis Pertanian
Program pemberdayaan masyarakat berbasis pertanian melalui konsepsi rantai nilai memberi peluang meningkatnya pertumbuhan ekonomi melalui sub sektor pertanian seperti: tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan maritim bagi masyarakat pesisir. Kelompok Tani & Nelayan dibina untuk menciptakan usaha produktif dalam menghasilkan produk bahan baku hingga produk jadi yang mampu untuk berkompetisi baik di pasar lokal, regional maupun nasional, bahkan bukan tidak mungkin mampu melakukan penetrasi ke emerging market.
Peluang dan Harapan
Maluku dan Aceh memiliki dukungan sumber daya pertanian yang besar, hal ini merupakan kenggulan komparatif (Comparative Advantage) yang sepatutnya dapat mampu menggerakan industri pengolahan di struktur Desa. Penulis mengutip satu teori rantai nilai oleh Porter, “rangkaian kegiatan yang dilaksanakan sebuah organisasi untuk menghasilkan produk atau jasa. Mekanisme rantai nilai yang baik akan menjamin barang dan jasa yang dihasilkan dapat memberi nilai tambah (added value) bagi masyarakat”.
Dari perspektif Ekonomi Syariah hal ini merupakan momentum, begitu besar peluang untuk menggerakan sektor riil berbasis pertanian. Seperti yang kitaketahui, sesungguhnya ekonomi syariah di kelompokan pada 3 sektor, yaitu: sektor keuangan, riil dan ZISWAF. Sektor keuangan syariah secara nasional belum menunjukan pertumbuhan yang signifikan. Hitung-hitungannya bila sektor riil
mampu digerakan maka akan mendorong pertumbuhan sektor keuangan syariah dan secara otomatis meningkatkan pula jumlah portfolio ZISWAF baik secara nasional maupun daerah.
Harapannya bila program ini dapat dilaksanakan melalui rencana strategis pemangku kebijakan daerah, maka kedepan akan tumbuh sentra-sentra usaha desa melalui entitas usaha “Koperasi Produksi Rantai Nilai (Value Chain)”. Kualitas hidup petani akan semakin baik, pemerintah daerah memperoleh peningkatan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi semakin baik.
Perjuangan belum usai dan masih panjang, Penulis ingin terus berada di sini di Maluku yang Beta cintai. Semoga program seperti ini dapat di replikasi di kampung halaman Penulis di Aceh sana dan wilayah-wilayah lain di seluruh pelosok Negeri ini. Maluku dapat di jadikan Role Model (contoh) untuk di replikasi.
Kita optimis, kedepan sektor pertanian Provinsi Maluku akan kembali berjaya seperti masa lalu. Sejarah telah mencatat bahwa Maluku terkenal dengan sejarah rempah-rempahnya. Teringat lirik lagu yang di nyanyikan oleh “Opa Zeth Lekatompessy”
Biar kau sampai di mana
Tak akan kita lupakan
Indonesia tanah pusaka
Satu nusa satu bangsa satu Bahasa
Indonesia manisee (***)
Oleh: Dr. Teuku Fajar Shadiq (Konsultan Pemberdayaan Masyarakat & Praktisi Ekonomi Syariah)