BERITABETA. COM – Sudah hampir 4 bulan berlalu, penangkal yang efektif untuk menyembuhkan pasien coronavirus desiase (Covid-19) belum juga ditemukan. Pengembangkan vaksin dan obat memang membutuhkan waktu yang tak singkat karena harus melalui berbagai fase uji klinis panjang sebelum akhirnya dapat digunakan.

Kabar terbaru menyebutkan bahwa Remdesivir yang diproduksi oleh Gilead Science gagal uji di China. Kabar ini dilaporkan oleh WHO secara langsung. Namun dari pihak produsen menilai bahwa data yang diperoleh dari uji tersebut terlalu sedikit sehingga tidak dapat digunakan untuk mengambil kesimpulan.

Terlepas dari pro-kontra penggunaan obat dan pengembangan vaksin yang memakan waktu lama. Ada alternatif lain sebenarnya yang bisa digunakan untuk melawan Covid-19. Salah satu alternatifnya adalah dengan menggunakan plasma darah pasien sembuh covid-19 untuk diberikan kepada orang lain yang masih menderita.

Plasma darah pasien yang sembuh Covid-19 disebut-sebut memiliki suatu protein penangkal virus yang bernama antibodi. Protein ini diproduksi oleh salah satu jenis sel penyusun sistem kekebalan tubuh bernama limfosit B. Keberadaan antibodi di plasma darah berfungsi untuk menetralisir virus.

Upaya pengobatan seperti ini sudah dilakukan di beberapa negara. Di China, suatu eksperimen yang dilakukan terhadap 10 pasien Covid-19 menunjukkan hasil menjanjikan setelah diberi plasma darah pasien yang sembuh.

Setelah diinjeksi dengan plasma darah yang mengandung antibodi dari orang yang sembuh dari COVID-19, kesepuluh pasien tersebut menunjukkan hilangnya gejala-gejala seperti demam, batuk, sesak napas, hingga nyeri dada dalam waktu tiga hari. Hasil pencitraan CT scan dada pasien juga menunjukkan perbaikan.

Eksperimen ini dilakukan oleh 48 ilmuwan asal China yang terafiliasi dengan China National Biotec Group Company Limited dan National Engineering Technology Research Center for Combined Vaccines, Wuhan Institute of Biological Products Co. Ltd.

Hasil dari percobaan para ilmuwan China tersebut dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS) dengan judul “Effectiveness of convalescent plasma therapy in severe COVID-19 patients” pada 18 Maret 2020.

Food and Drug Administration (FDA) baru-baru ini merekomendasikan para pasien Covid-19 yang telah sembuh untuk mendonorkan plasma darah mereka. Plasma darah ini digunakan untuk terapi yang disebut bisa mengobati penyakit Covid-19 yang disebabkan oleh virus corona jenis SARS-CoV-2.

Convalescent plasma, begitu nama terapi tersebut, dilakukan dengan cara memasukkan plasma darah penuh antibodi milik pasien yang telah sembuh ke tubuh penderita Covid-19.

Situs resmi FDA menyebutkan terapi ini bisa dilakukan sebagai opsi penyembuhan Covid-19, mengingat tingkat keberhasilan yang cukup tinggi di China.

Dikutip dari TribunJabar.id, Prof David Muljono selaku Deputy Director Eijkman Institute of Molecular Biology menyebutkan convalescent plasma sangat mungkin dilakukan termasuk di Indonesia.

“Plasma diambil dari darah pasien yang sembuh, tetapi ada kriterianya,” tutur David saat webinar yang digelar oleh The Conversation Indonesia bertajuk “Mengukur Efektivitas Intervensi Pemerintah dalam Penanganan Covid-19”, Selasa (21/4/2020).

Kriteria yang harus dimiliki eks-pasien Covid-19 antara lain usia 18-55 tahun, berat badan lebih dari 50 kilogram, tidak memiliki penyakit penyerta, serta mampu mendonorkan darahnya.

“RNA pasien harus pernah positif, dengan indikasi pasien tersebut harus yang memiliki progress (penyembuhan) yang cepat dan penyakitnya tidak lebih dari tiga minggu,” paparnya.

Terapi convalescent plasma bukanlah kali pertama dilakukan untuk beberapa jenis penyakit.

David menjelaskan, sebelumnya terapi ini dilakukan untuk mengobati penyakit SARS, MERS, hantavirus, dan flu burung.

Untuk kasus Covid-19, convalescent plasma pertama kali dipraktekkan di China.

“Awalnya ada 5 orang diberi terapi itu di China, kemudian ditambah 10 orang lagi. Kemudian ada 2 orang lagi di China. Itu artinya di dunia sampai saat ini baru ada 17 orang yang diberikan terapi tersebut,” tambah David.

Berdasarkan data terbatas itu, tingkat keberhasilan convalescent plasma memang cukup tinggi.

Para pasien di China yang telah diberikan convalescent plasma mengalami penyembuhan yang lebih cepat, serta keparahan yang berkurang terutama pada saluran pernapasan.

Lalu apakah terapi ini benar efektif untuk menyembuhkan Covid-19? David mengatakan terlalu dini untuk berkesimpulan seperti itu. Itulah mengapa Infectious Diseases Society of America (IDSA) telah mengeluarkan rekomendasi no 7.

“Rekomendasi No 7 yang dikeluarkan IDSA menyebutkan convalescent plasma bukanlah pengobatan terakhir, dan masih belum banyak pengalaman klinis. Butuh studi lebih banyak yang diobservasi secara ketat untuk membuktikan efektivitasnya,” tutur ia.

Menhub Siap Donor Plasma Darah

Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menyanggupi untuk diambil plasma darahnya. Ini sebagai salah satu upaya medis dalam menyembuhkan pasien yang terinfeksi Virus Corona baru atau Covid-19.

“Kalau plasma darah, sudah dimandatkan oleh pihak rumah sakit dan saya mau anytime (kapanpun) saya diminta darahnya karena darah ini berguna di masyarakat,” kata Menhub Budi Karya saat konferensi pers virtual di Jakarta, Senin (27/4/2020).

Menhub dinyatakan sembuh dari Covid-19 setelah mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) sejak 13-31 Maret 2020 (BB-DIP)