Oleh : Moh Ridwan Litiloly (Ketum HMI Cabang Namlea)

TIGA orang dari kelompok Front Kedaulatan Maluku (FKM) yang berafiliasi dengan Republik Maluku Selatan (RMS) mendatangi Markas Polda Maluku. Mereka membawa bendera ‘benang raja’ yang melambangkan komitmen mereka terhadap RMS.

Kejadian ini bertepatan dengan tanggal 25 April yang merupakan hari dimana gerakan RMS diproklamirkan pada tahun 1950. Perayaan ini selalu diselenggarakan hampir tiap tahunya sebagai bentuk komitmen mereka untuk memisahkan diri dari NKRI.

Insiden ini dapat diartikan sebagai symbol komunikasi politik untuk mengingatkan pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia terkhususnya Maluku, untuk mempertegas keberadaan mereka.

Menelisik tentang argumentasi John Wattilete, Presiden RMS yang diwawancarai oleh media Tempo pada  22 April 2016, ia menegaskan bahwa perjuangan mereka masih berada pada batas kewajaran dan masih dalam jangkauan. Tegas dirinya dengan membandingkan perjuangan bangsa Indonesia selama 350 tahun.

Apapun yang menjadi spirit raison d’erte (alasan keberadaan) gerakan republik Maluku selatan, Negara harus memberikan perhatian khusus terhadap gejolak ini. Kehadiran eksistensi Negara tentunya tidak sekedar memberikan pemulihan  keamanan dan ketertiban serta menindak secara tegas para pelaku separatisme  yang melanggar hak-hak masyarakat sipil.

Lebih dari itu, Negara harus mampu menelurkan kebijakan yang menegaskan keadilan sosial dalam rangka mempertahankan keamanan Nasional. Seharusnya ada upaya yang dilakukan Negara dalam meminimalisir argumentasi yang dapat mengkonfrontasi masyarakat Maluku tentang ketidakadilan Negara.

Sebagai daerah yang kaya akan potensi sumber daya alamnya, kemudian diperhadapkan dengan barisan angka data-data yang menunjukan kualitas kesejhatraan yang minim, tentu hal ini akan menjadi sebuah  Retreatisme di dalam masyarakat.

Kita bisa lihat bagaimana seorang mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya  Rizal Ramli yang dikutip salah satu media oneline mengatakan bahwa Maluku bisa lebih mewah dari Qatar kalau pembangunan infrastrukur penyaluran dan pengolahan gas di Blok Masela dilakukan di darat (on shore).

Kemudian janji Negara tentang menjadikan Maluku sebagai poros Lumbung Ikan Nasional (LIN) yang belum terealisasi, dan minimnya kebijakan-kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam lainya yang dapat mendorong dan meningkatkan kesejatraan masyarakat Maluku.

Dari hasil rilis BPS pada 2019, Maluku masih berada pada posisi keempat dengan angka kemiskinan tertinggi setelah Papua, Papua Barat dan NTT. Kondisi yang paradox ini sangat rentang dikonsumsi oleh masyarakat  sebagai sebuah bentuk ketimpangan.

Pengendalian kebijakan dan opini publik harus terukur dan terstruktur oleh Negara. Meskipun dalam perjalanan sejarahnya salah satu kehadiran RMS merupakan bentuk penolakan terhadap upaya unitarisme atau kesatuan.

Dimana menurut  M.C Ricklef dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern  bahwa ini merupakan politik devide and rule dengan memprovokasi bahwa Republik sebagai Negara yang dikuasai orang jawa, muslim dan tokoh-tokoh berhaluan kiri.

Negara harus tetap berikhtiar menjaga dan mempertahankan kedaulatanya, jangan sampai hanya karena persoalan keadilan, pandangan M.C Ricklef dianggap kebanyakan masyarakat Maluku sebagai imajinasi yang sengaja dibentuk untuk memuluskan perampokan SDA ditanah Maluku.

Semangat Nasionalisme saja tidak cukup, jika rasa lapar, disparitas dan ketidakadilan itu masi membayangi, maka naluri rebellion (pemberontakan) itu akan muncul dengan sendirinya.

Ketidakadilan bisa menjadi ramuan aktif “active ingredient” yang dalam teori kimia ketika semakin menumpuk, kemungkinan akan berinteraksi satu sama lain sampai menjadi “rebellious force”, yaitu “kekuatan perlawanan”.

Negara harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat, bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat  yang bodoh dan menemui ajalnya karena tidak memperoleh jaminan sosial.

Maka sebagai anak kandung NKRI sewajarnya saya mempunyai ekspektasi agar sesegera mungkin kehadiran Negara dalam penyelesaian gerakan saparatisme RMS ini dengan pendekatan asas-asas kemanusianaan segera mungkin dilakukan. Karena di usia yang sudah ke-74 ini, seharusnya sudah tidak ada lagi tempat dan alas an apapun untuk gerakan-gerakan saparatis berkembang (***)