BERITABETA.COM, Jakarta – Pengobatan pasien positif Covid-19 dengan terapi plasma darah atau plasma konvalesen kian populer dilakukan di sejumlah negara.  Di Australia penggunaan plasma darah diklaim telah berhasil menyembuh pasien Covid-19.

Dikutip beritabeta.com dari cnnindonesia. com, salah satu pasien yang disebut berhasil disembuhkan dengan terapi plasma darah adalah Marvin Griffin yang dirawat di rumah sakit Premier Health Systems, Australia.

Marvin bersama istrinya, Connie Griffin dinyatakan positif Covid-19 sekitar dua pekan lalu. Pasangan yang telah menikah selama 33 tahun itu pun sempat mengalami kesulitan bernapas 24 jam setelah masuk RS sehingga harus dipindahkan ke ruang ICU dan menggunakan ventilator.

“Jika saya akan kehilangan salah satu dari mereka, itu akan seperti setengah duniaku hilang,” kata Heather Griffin, anak dari pasangan tersebut, melansir ABC, Kamis (30/4/2020).

Di Indonesia,  Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio menyatakan pihaknya tengah menyiapkan protokol untuk mengobati pasien Covid-19 dengan terapi plasma darah atau plasma konvalesen.

Menurutnya, protokol itu mengatur pengambilan plasma darah pasien yang sembuh dari virus corona dan pemberian kepada pasien yang masih sakit atau dirawat.

“Kami sedang menyiapkan protokol pengambilan plasma darahnya dan juga untuk pemberian ke pasiennya,” ujar Amin,  Rabu (29/4/2020).

Amin mengatakan protokol dibuat oleh sejumlah rumah sakit yang kemudian akan menerapkan terapi tersebut kepada pasien yang masih dirawat.

Secara paralel, dia berkata Eijkman bersama dengan Palang Merah Indonesia (PMI) dan Badan POM membuat protokol untuk penyiapan donor, pengambilan plasma, dan penyimpanan plasma.

Menurutnya, Eijkman tidak melakukan uji coba terhadap pasien tersebut. Dia mengatakan Eijkman hanya melakukan pengujian di hulu, yakni memastikan plasma dari pendonor mengandung antibodi yang cukup tinggi. Adapun pihak yang menerapkan terapi itu adalah rumah sakit.

“Jadi tidak ada uji coba awal, langsung diimplementasikan dan itu merupakan bagian dari penelitian. Itu pelayanan berbasis penelitian,” ujarnya.

Kelebihan Plasma Darah

Amin menyampaikan kelebihan terapi plasma konvalesen adalah mampu mengeleminasi virus lewat antibodi pasien sembuh. Sebab, dia berkata sampai saat ini belum ada anti virus yang baku atau vaksin.

“Jadi untuk mengeleminasi virusnya itu kita pakai antobodi. Karena antobodi diambil dari pasien yang sembuh jadi bisa dianggap terbukti bisa mengeleminasi virusnya,” ujar Amin.

Amin menambahkan ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi jika hendak menjadi pendonor. Salah satunya, dia mengatakan pendonor diutamakan adalah pria. Sedangkan perempuan, dia berkata tidak dianjurkan yang sudah hamil.

“Sebenarnya laki-laki tidak terdapat satu sistem imun di dalam darah yang muncul seperti seorang wanita hamil. Istilahnya anti-HLA. Makanya kalau wanita harus yang belum pernah hamil,” ujarnya.

Amin juga mengatakan sejumlah negara sudah menerapkan terapi plasma. Sedangkan dari sisi biaya, dia berkata lebih murah daripada vaksin.

“Untuk pengembangan vaksin butuh waktu dan biaya yang cukup besar. Jadi sambil pengembangan vaksin kita menggunakan itu,” ujar Amin.

Lebih dari itu, Amin berkata terapi plasma konvalesen merupakan imunisasi pasif. Sedangkan vaksin merupakan imunisasi aktif.

“(Terapi plasma konvalesen) antibodinya sudah ada di pasien yang kemudian diberikan,” ujarnya.

Ia mengingatkan pasien yang sembuh akibat mendapat terapi plasma konvalesen masih memiliki potensi terinfeksi Covid-19.

“Semua yang pernah terinfeksi dan sembuh itu tetap ada kemungkinan untuk terinfeksi kembali, tergantung dari kadar antibodinya, tergantung dari kadar virusnya apakah sudah bermutasi apa belum,” ujat Amin.

Sebelumnya, beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris hingga Iran, sudah menjalankan terapi plasma darah yang diambil dari pasien sembuh Covid-19. Cara penyembuhan sementara itu diambil karena vaksin virus corona masih membutuhkan waktu yang cukup lama.

Terapi plasma darah untuk mengobati penyakit infeksi emerging bukan merupakan hal baru. Metode pengobatan itu telah digunakan sejak seabad lalu dan terakhir sempat untuk mengobati sejumlah pasien terinfeksi Ebola.

Terapi itu menggunakan antibodi yang dihasilkan dari sistem kekebalan tubuh penyintas Covid-19. Antibodi penyintas diambil tiga hingga empat minggu setelah pulih dari Covid-19. Sesuai protokol, antibodi penyintas disuntikkan ke orang lain yang mungkin kesulitan untuk memproduksinya (BB-DIP)