Oleh: Mashuri Mashar, S.KM (Konsultan Kesehatan)

SUDAH enam hari kota Ambon menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sedianya PSBB akan berlaku selama empat belas hari. Artinya, tersisa kurang lebih seminggu lagi akan berjalan.

Dan selama itu pula, tidak sedikit yang sudah terjadi. Diantaranya evaluasi pelaksanaan PSBB di kota musik ini turut serta mengikuti. Banyak aktifitas para pemangku kepentingan yang turun kebawah (turba) untuk sekedar memastikan tingkat kepatuhan masyarakat pada PSBB. Sebagian lagi, melaksanakan fungsi pengawasan. Ini tentu saja berhubungan dengan sanksi denda bagi pelanggar.

Beberapa hari kemarin, penulis coba menyampaikan beberapa poin terkait PSBB. Terutama yang berhubungan dengan pembelajaran dari kota/kabupaten lain yang telah melaksanakan PSBB. Titik tekannya pada aspek ketiga selain infrastruktur dan struktur terkait penanganan COVID-19. Suprastruktur maksud penulis.

Belum cukup beberapa jam setelah tulisan tersebut tayang lewat salah satu media dalam jejaring (daring), terjadi ambil paksa jenazah dari mobil pengantar. Lewat berita yang memenuhi linimasa daring, jenazah tersebut terkonfirmasi COVID-19. Setidaknya tenaga kesehatan mengatakan demikian.

Untuk itu protokol kesehatan dijalankan saat almarhum akan dikebumikan. Di lain sisi, pihak keluarga merasa itu tidak benar. Salah satu sebab, hingga kejadian “perampasan” mayat, keluarga tidak mendapatkan bukti “hitam di atas putih” hal tersebut. Makanya, mereka bersikeras penyebab kematian karena masalah kesehatan semata dan bukan akibat Korona.

Publik kemudian terbelah. Ada yang mendukung keluarga jenazah dan ada juga yang mengecam. Kita tidak akan masuk pada dikotomi dua kelompok di atas. Saya akan melihat kejadian di atas dari aspek sosial kemasyarakatan.

Jika kita telisik fakta kejadian perampasan jenazah COVID-19 di Indonesia, yang terjadi di Batumerah, Jumat menjelang sore kemarin bukan pertama kali dan satu-satunya. Surabaya adalah kota pembuka kejadian serupa. Kemudian disusul  Makassar.

Paska kejadian tersebut, jumlah orang yang terkonfirmasi COVID-19 di dua wilayah tadi meningkat tajam. Sekali lagi, ini bisa jadi berhubungan dengan kita–orang Indonesia senang melihat kerumunan. Apalagi keberadaan gawai pintar di tangan membuat semuanya jadi sempurna.

Jika Surabaya dan Makassar kemudian angka COVID-19 mendadak meningkat, bagaimana dengan Ambon?

Inilah yang kemarin jadi kekhawatiran saya. Saat infrastruktur dan struktur sudah maksimal disiapkan tetapi lalai pada suprastruktur tentu saja akan berdampak negatif. Riak sosial pada masyarakat. Bentuknya bisa berupa krisis kepercayaan pada negara, dalam hal ini fasilitas kesehatan.

Jika langkah dari gugus tugas hanya berkisar pada tersedianya infrastruktur dan terbentuknya struktur, akan muncul kejadian serupa yang tentu saja sulit untuk dihindari.

Sebabnya, masyarakat dengan segala tatanan-nya dianggap hanya sebagai obyek dan bukan subyek. Padahal, setiap rupiah yang telah dipotong lewat pajak adalah biaya untuk pengelola negara “membantu” masyarakat agar menjadi lebih sejahtera. Ingat, saya memasukkan kata “membantu”. Tujuannya, agar jelas siapa pemilik dari uang tersebut.

Sebagai orang yang pernah mencecap ilmu kesehatan masyarakat, mekanisme pelaksanaan protokol kesehatan sejatinya tidak ada masalah. Adalah fase membuat faham masyarakat titik awal ini jadi masalah. Mungkin, pemangku kepentingan bisa berdalih sudah melakukan sosialisasi dan menyandarkan sepenuhnya pada penyebaran informasi dewasa ini. Untuk ini saya tidak menyangkal.

Masalahnya Dimana?

Jadi begini. Jika kita bersepakat bahwa dewasa ini informasi bisa bersumber dari mana saja, disaat yang bersamaan kita juga harus paham bahwa tidak semua informasi tersebut bisa dipertanggung jawabkan. Artinya, dalih kegiatan sosialisasi dan informasi yang ada bisa dibilang belum cukup.

Pendekatan pada tatanan kemasyarakatan wajib juga dilakukan. Dengan harapan, pengelola negara memaksimalkan peran tokoh-tokoh masyarakat yang ada di tengah-tengah mereka.

Pun ini dilakukan, tidak serta-merta penanganan COVID-19 dari sisi suprastruktur bisa dikatakan maksimal. Saya ambil contoh susuan gugus tugas di kabupaten Gorontalo. Disana, koordinator lapangan berasal dari akademisi. Bidang keahliannya tidak kalah mentereng, Antropologi. Apakah disana penanganan COVID-19 aspek suprastruktur jadi efektif? Ternyata tidak juga. Dari informasi yang saya dapatkan, justru bertolak belakang.

Berangkat dari kondisi tersebut, sedikit saran dari saya, dari pada pemangku kepentingan dan jajarannya sibuk mencari-cari pelanggar PSBB di lapangan dan siapa saja yang terlibat dalam aksi perampasan jenazah, sebaiknya energi yang keluar dialihkan dengan mendekati para tokoh-tokoh masyarakat. Bisa dimulai dari tempat ibadah. Atau bisa juga menyebar promotor (orang yang melakukan promosi) kesehatan masyarakat tingkat terbawah.

Bagi saya langkah ini lebih efektif dan efisien. Tentu kita tidak berharap penyerapan anggaran COVID-19 berbanding lurus dengan peningkatan jumlah yang terkonfirmasi positif. Artinya, angka 20 milyar dana COVID-19 dan akan ditambah lagi bisa jadi lebih efektif. Dan jangan hanya habis untuk mencari pelanggar PSBB saja. (***)