Spirit azan ternyata begitu mengangumkan, tak heran suara azan juga menggelitik nurani Stefanus sang wartawan Tempo, dalam salah satu cuplikan artikelnya stefanus berujar mendengar serentaknya denting genta dan azan, telinga dan hati saya (stefanus) sering merasa teduh.

Tidak ada yang beradu mana yang lebih keras. Keduanya punya kemiripan: sama-sama mengundang untuk berdoa.

Melihat fungsi itu, saya memandang azan bukan hanya milik sebagian orang. Azan adalah milik mereka yang mau mendengar dan menyerahkan hati kepada Sang Pencipta.

Azan tak sekadar membangunkan tidur manusia, tapi juga menggugah untuk berhenti sejenak dari aktivitas, seraya mengucap syukur atas segala nikmat dari-Nya. Azan bisa menyatukan mereka yang menghayatinya.

Azan secara harfiah berarti memanggil, mengajak, mengingatkan. Azan menurut ulama fikih ialah lafaz-lafaz tertentu yang digunakan untuk mengingatkan dan mengajak orang-orang untuk melaksanakan shalat.

Suara azan itu menembus ruang dan waktu, mengajak yang tua, muda, miskin dan kaya untuk mengingat Allah tanpa pembeda. Apa yang tercucap dari sang wartawan Tempo itu adalah suatu kata hati, betapa suara azan itu bak sang peneduh hati.

Tak heran beliau pun merasa terpana mendengar azan dari masjid di sebuah pulau di wilayah Banda yang dikepung pepohonan tinggi.

Suaranya menggaung ke arah laut. Atau azan di Aleppo, Suriah, yang diserukan seorang milisi pemberontak pada suatu subuh, meski dengan suaranya agak parau, lantunannya yang terdengar lirih lagi-lagi membuat saya menangis ujarnya, yang menurutnya sapaannya (azan) terasa tak hanya di telinga, tapi juga menembus ke hati hingga air mata yang  menetes karenanya.