Sang Rerevolusi Gaya “Catenaccio” Sepak Bola Italia
BERITABETA.COM - Wembley Stadium, Senin 12 Juli 2021 menjadi saksi bisu sebuah perjuangan besar yang telah ditorehkan sosok ini. Ia terlihat tertunduk dengan mata berkaca-kaca.
Tangis harunya tak bisa ditahan, setelah kemenangan Timnas Italia yang diimpikan diraih oleh skuad asuhannya atas Timnas Inggris di laga final Euro 2020.
"Itu adalah emosi yang terjadi setelah mencapai sesuatu yang luar biasa, melihat para pemain merayakan, dan para penggemar yang juga merayakan di tribun," kata sosok ini seperti dikutip ESPN, Senin 12 Juli 2021.
Ini menandai gelar Piala Eropa pertama yang diraih Italia sejak 1968 dan merupakan hasil dari pembangunan kembali tim nasional yang cerdas, menyusul kegagalan memalukan pada putaran final Piala Dunia 2018 di Rusia.
Adalah Roberto Mancini. Pria berusia 56 tahun inilah yang berhasil membawa perubahan besar di segala lini permainan Timnas Italia. Mancio, begitu dia disapa mampu merevolusi gaya permainan “catenaccio” yang menjadi ciri khas Italia menjadi lebih modern.
Teorinya, tentang sepak bola saat ini tidak hanya tentang bertahan dan pintar dalam menganalisa pertandingan. Namun, perlu melakukan penyerangan yang intens demi mencetak gol ke gawang lawan.
"Kami telah bermain dengan sangat baik, tidak pernah ada masalah sejauh ini dan para pemain pantas mendapatkan pujian untuk itu. Tidak hanya di lapangan, mereka melakukan pekerjaan brilian di manapun, tetapi saya pikir itu adalah fakta bahwa kami telah mampu menempa semangat tim ini," ujarnya.
Pemahaman catenaccio yang sudah mendarah daging rela didobraknya demi meningkatkan kreativitas permainan anak asuhnya. Dengan skema 4-3-3, eks bomber Sampdoria ini sukses menjadikan Gli Azzurri sebagai tim yang ditakuti di Piala Eropa 2020.
Pola lima pemain belakang ala catenaccio sama sekali tidak terlihat saat Italia bermain di Euro 2020. Mancini konsisten menerapkan sistem 4-3-3. Sebanyak 8-9 posisi sudah memilih penghuni, sepuluh jika Leonardo Spinazzola tidak terkena cedera serius.
Di laga final itu, Timnas Italia lebih awal mengalami kebobolan, melalui gol cepat Luke Shaw yang dicetak saat pertandingan baru berjalan dua menit. Namun, di babak kedua, Italia bangkit dan berhasil menyamakan kedudukan pada menit 67 lewat aksi Leonardo Bonucci sebelum menang 3-2 dalam drama adu penalti setelah tetap bermain imbang 1-1 pada babak perpanjangan waktu.
Eks nakhoda Manchester City ini meminta anak asuhnya membangun serangan dari belakang. Mancini merasa perubahan perlu dilakukan untuk memulihkan reputasi Italia. Ketika mulai bekerja pada pertengahan 2018, Gli Azzurri baru saja gagal lolos ke Piala Dunia Rusia. Mereka absen di turnamen besar sepak bola untuk kali pertama sejak Piala Dunia 1958.
Perubahan tersebut perlahan membuahkan hasil. Italia dibawanya lolos ke Piala Eropa 2020. Setelahnya Gli Azzurri masuk semifinal UEFA Nations League 2020/2021, sebuah peningkatan menyusul rapor buruk pada edisi sebelumnya.
Pendekatan Mancini juga berbuah rekor. Mancini menjadi pelatih Italia dengan catatan kemenangan beruntun (13) dan laju tidak terkalahkan (33) tertinggi sepanjang masa, mengalahkan Vittoria Pozzo.
Meski bermain lebih menyerang, karakter utama Italia tetap terlihat. Mereka menjadi salah satu negara yang tidak kebobolan pada fase grup, selain Inggris.
Setiap keberhasilan menggagalkan peluang lawan selalu dirayakan, ibarat kesuksesan mencetak gol. Lihat saja selebrasi Leonardo Bonucci dan kawan-kawan usai mencegah striker Belgia Romelu Lukaku pada perempat final.
Gianluigi Donnarumma, Giovanni Di Lorenzo, Giorgio Chiellini, Leonardo Bonucci, Marco Verratti, Jorginho, Nicolo Barella, Lorenzo Insigne, dan Ciro immobile hampir pasti jadi starter di final.
Berarti ada dua tempat yang diperebutkan. Emerson Palmieri dan Alessandro Bastoni bersaing untuk sektor bek kiri. Sementara Domenico Berardi dan Federico Chiesa saling sikut demi melengkapi trio penyerang.
Mancini menambahkan, bahwa skuad besutannya bisa menjadi juara EURO 2020 karena telah melakukan pekerjaan yang brilian selama turnamen berlangsung. Bahkan, Mancini menekankan, kalau Azzurri adalah tim yang identik dengan kemenangan.
"Mereka telah menciptakan sesuatu yang tidak pernah bisa dipisahkan ke depan. Mereka akan selalu identik dengan kemenangan ini karena mereka sangat menghormati satu sama lain" tutur mantan manajer Manchester City tersebut.
Ditunjuk Sebagai Pelatih
Roberto Mancini ditunjuk menjadi pelatih Timnas Italia setelah Gli Azzurri gagal lolos ke Piala Dunia 2018. Ia mengaku menerima tawaran itu karena tak seorang pun mau mengambilnya.
Di tangan Gian Piero Ventura, Italia berada di titik terendah prestasi. Untuk kali pertama sejak 1958, mereka harus absen dari ajang terakbar di dunia sepakbola tersebut usai kalah agregat 0-1 dari Swedia di babak play-off pada November 2017.
Ventura dipecat karena hasil tersebut. Federasi Sepakbola Italia (FIGC) lalu mencari penggantinya, namun hal itu bukan perkara mudah.
Butuh waktu enam bulan untuk mendapatkan suksesornya. Sebelumnya, selama Februari-Mei 2018, Luigi Di Biagio yang sedang menjabat sebagai pelatih Italia U-21 sempat didapuk sebagai caretaker.
Lamanya waktu penunjukan ini disinyalir karena saat itu FIGC tengah mencari pemimpin baru. Namun selain itu, rupanya tak ada yang mau mengemban status sebagai pelatih tetap, sebelum Mancini maju.
Dalam kondisi tengah porak poranda, siapapun yang menggantikan Ventura akan mendapat sorotan besar. Membawa Italia kembali disegani jelas menjadi tantangan tersendiri.
"Saat saya tiba, tak ada yang mau menjadi pelatih timnas. Mereka lalu meminta saya, dan saya menyetujuinya," cerita Mancini kepada Roma TV, dikutip Football Italia.
Namun Mancini tak gentar dengan tekanan yang ada. Berbekal filosofi permainan menyerang, ia melakukan penyegaran skuad dengan memberikan tempat untuk para pemain yang sebelumnya minim caps macam Jorginho, Federico Chiesa, hingga Nicolo Zaniolo.
Hasilnya amat baik, Italia lolos ke Piala Eropa tahun depan sebagai juara grup dan meraih nilai sempurna selama kualifikasi, yakni 30 poin dari 10 laga.
"Banyak yang takut untuk masuk ke dalam situasi sulit, namun sepakbola juga terbentuk dari momen-momen seperti ini. Kamu hanya perlu sedikit rasa percaya diri dan keyakinan akan kualitas pemain-pemain muda yang ada," jelasnya.
Mancio, sapaan akrabnya, memang patut diapresiasi atas kerja keras yang digoreskan. Ia mampu menjadi cahaya bagi Gli Azzurri usai gagal lolos ke Piala Dunia 2018.
Sejak ditunjuk FIGC untuk menggantikan posisi Gian Piero Ventura, Mancio menjelma bak juru selamat. Tercatat hingga hari ini Italia hanya mengalami dua kekalahan.
Bahkan kekalahan tersebut terjadi pada awal penunjukan Mancio sebagai pelatih anyar. Waktu itu Italia kalah 1-3 atas Prancis di pertandingan persahabatan dan 0-1 kontra Portugal di ajang UEFA Nations League 2018.
Pasca kekalahan terakhir kontra Portugal, kini Italia mampu menorehkan 33 pertandingan tanpa kekalahan. Hal ini sekaligus menjadikan Mancio sebagai pelatih Italia pertama yang mencatatkan rekor fantastis tersebut.
Selain menorehkan 33 pertandingan tanpa kekalahan, Mancio juga diketahui mencatatkan rekor lain. Ia tercatat menyamai rekor jumlah gol Gli Azzurri kala menjuarai Piala Dunia 2006 dengan jumlah 12 gol.
Torehan ini tentu bisa terlampaui bila Italia mampu mencetak gol ke gawang Inggris di babak final Euro 2020, Senin (12/7/2021) dini hari WIB (BB-DIO)