Oleh : Dhino Pattisahusiwa (Pemred Media Online beritabeta.com)

PERISTIWA seputar coronavirus disease (Covid-19) di Maluku belakangan makin runyam disimak. Publik di Maluku kembali heboh setelah munculnya kasus pasangan suami istri (pasutri) dan satu anak mereka yang divonis ‘positif’ terinfeksi Covid-19 versi Rapid Test.

Syahdan, kabar itu menggema di seantero Maluku bahkan Indonesia. Setelah ramai diberitakan media massa Minggu malam, 5 April 2020, dengan sumber terpercaya Ketua Pelaksana Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku.

Mulai dari sini kisah Pasutri dari Saparua itu berawal. Media ini juga melaporkan berita tersebut dengan judul “Pasutri di Saparua Positif Covid-19 Hasil Rapid Test”.

Tak ada yang salah dalam penyampaian informasi oleh media massa. Kelanjutan dari informasi ini pun ter-update, Senin, 6 April 2020 dengan data yang dilansir Gugus Tugas Provinsi Maluku terkait jumlah Pasien Dalam Pengawasan (PDP) di Kabupaten Maluku Tengah yang bertambah menjadi empat orang.

Sebuah kemalangan terjadi, ketika ada protes yang disampaikan melalui dinding media sosial (facebook) dan menjadi viral dibahas netizen beberapa hari ini. Tanpa harus mendahului sebuah kebenaran. Apakah protes itu memang berasal dari seorang dokter di RSUD Saparua atau tidak. Tapi reaksi dari protes dengan menyalahkan insan jurnalis terkait berita yang disampaikan adalah bagian dari sebuah kemalangan.

Keributan di ruang publik yang terjadi saat ini bukanlah soal kebenaran informasi semata, apalagi materi berita yang disajikan media massa juga tidak menyentuh ranah privasi (penderita) yang divonis dengan menyertakan identitas secara gamblang.

Ini soal kemanusian yang tidak bisa dihindari di saat semua orang mengidap apa yang disebut ‘panic attack’, akibat fenomena corona yang terjadi dan menakutkan.  Reaksi publik tentang sebuah berita yang diwujudkan dengan sikap dan tidakan, merupakan fakta yang tidak bisa dihindari, karena memory kolektif manusia selalu terinstal lewat peristiwa yang terjadi sebelumnya.

Sesungguhnya bila mau dirunut tentang distorsi sebuah informasi yang dikonsumsi publik soal wabah virus corona, maka ‘benang merah’ itu ada pada pihak-pihak yang berkompoten dalam hal ini pemerintah sebagai pengambil kebijakan, bukan pada jurnalis sebagai pihak yang memproduksi sebuah berita.

Lantas timbul pertanyaan, apakah bila tidak ada jurnalis yang memproduksi sebuah berita tentang virus corona, semuanya akan aman-aman saja? Bukankah  sebaliknya memicu prahara yang lebih luas?

Setidaknya mari kita belajar dari peristiwa wabah penyakit Pes yang terjadi di Pulau Jawa pada masa kolonial Belanda tahun 1911 silam. Dalam peristiwa yang berakar dari pandemik “Black Death” di Eropa itu, sungguh menakutkan dan memilukan, bahkan lebih dahsyat terjadi.

Bila tak ada peran jurnalis lewat surat kabar ‘De Preanger Bode’ saat itu, mungkin seisi pulau Jawa Timur akan lenyap di tangan pandami penyakit Pes. Apa yang dilakukan ‘De Preanger Bode’?

Jurnalis koran itu mengkritsi kebijakan pemerintah dengan meminta dilakukan tindakan preventif. Membuat  karantina massal, pemusnahan pakaian dan barang-barang bawaan jemah haji yang baru tiba di kota Malang. Sebab wabah Pes disebabkan oleh kutu tikus dan ditakutkan serangga vektor itu akan menyusup di pakaian jemaah haji yang baru tiba dengan kapal itu.

Kembali ke kasus Saparua. Sejatinya kabar terkait keluarga dari Saparua adalah kasus yang keempat terjadi di Maluku. Sebelumnya kejadian serupa juga menimpa dua WNA asal Jepang, satu warga Bakasi yang kemudian ditetapkan sebagai pasien 01 Covid -19, Maluku, dan juga kasus seorang nenek 74 tahun yang baru saja ditetapkan sebagai pasien 02 Maluku.

Yang berbeda dari keempat kasus di atas adalah soal status ‘positif’ yang disandang mereka. Untuk kasus dua WNA Jepang dan kasus 01 Maluku asal Bekasi, prosesnya dimulai dengan isolasi dan langsung diproses pengiriman spesimen pasien untuk diuji dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) di  Labolatorium Kementerian Kesehatan di Jakarta.

Ketiga orang ini, baru divonis positif dan negatif setelah hasil PCR itu terkonfirmasi dari Jakarta. Dua WNA Jepang bersih dari Covid-19 dan warga Bekasi divonis positif dan resmi menyandang pasien 01 Maluku.

Berbeda dengan ketiga orang ini, kasus nenek di Ambon dan keluarga asal Saparua banyak menimbulkan kontroversi. Penyebabnya adalah soal istilah ‘positif’ yang disematkan kepada mereka. Tentu protes publik pun tidak salah, karena status ‘positif’ yang disematkan adalah hasil dari Rapid Test yang akurasinya belum pasti, bukan dengan metode PCR.

Mereka yang tidak sepekat dengan penggunaan istilah ‘positif’, lebih melihat sisi kemanusian. Ini soal image yang terlanjur menyebar di tengah publik. Tentu pendapat ini ada benarnya. Rapid Test secara gamblang dapat dijelaskan merupakan metode skrining awal untuk mendeteksi antibodi, yaitu IgM dan IgG. Antibodi ini akan dibentuk oleh tubuh bila ada paparan virus Corona.

Cilakanya, pembentukan antibodi ini memerlukan waktu, bahkan bisa sampai beberapa minggu. Inilah yang membuat hasil dengan metode Rapid Test sering meleset dan berubah.  Berbeda dengan metode PCR. Metode ini langsung menguji spesimen melalui DNA, sehingga tingkat akurasinya tidak bisa meleset.  Terkait dengan polimik ini, tentunya istilah ‘positif’ harus kembali ditinjau penggunaanya dalam dialektika di ruang publik, agar tidak bias dan mengharu biru.

Untuk menghindari masalah ini, hanya ada dua pilihan yang harus digunakan pihak berwenang dalam menyampaikan informasi ke publik. Pertama mengganti istilah positif menjadi reaktif, dan negatif dengan non reaktif kepada pasien yang diuji dengan metode Rapid Test. Kedua, tidak mengumumkan hasil uji dengan metode Rapid Test kepada publik.

Istilah positif dan negatif hanya disematkan kepada pasien yang sudah terkonfirmasi uji spesimennya melalui metode PCR. Perubahan ini bukan lantas mengabaikan langkah ikhtiar pemerintah dan masyarakat dalam menyikapi penyebaran virus mematikan ini.

Sampai disini, semoga apa yang menjadi tranding topic selama ini tentang istilah positif tidak lagi menjadi bias. Publik pun harus memperbiasakan diri dengan istilah positif yang ditetapkan lewat  Rapid Test dan PCR, sehingga tidak panik dalam suasana ikhtiar yang sedang berlangsung saat ini.

Satu lagi yang lebih penting, tetap menjaga diri dengan mengikuti anjuran yang telah disampaikan pihak-pihak berwenang, sebab yang lebih menakutkan dari penyebaran Covid-19 adalah ‘asimtomatik carrier’/’silent carrier’. Mereka adalah orang yang memiliki kemampuan membawa dan menyebarkan virus tanpa menampakkan gejala terinfeksi Covid-19 seperti apa yang selama ini kita ketahui.

Kasus ‘asimtomatik carrier’ sudah terkonfirmasi seperti lewat sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim dari Kyoto University, Oxford University dan Georgia State University pada penumpang kapal pesiar Diamond Princess. Dalam kapal mewah itu terdapat sebanyak 634 dari 3.063 orang divonis positif Covid-19. (kontan.id)

Artinya sebesar 17,9 persen dari 634 orang yang terinfeksi Covid-19 tidak menunjukkan gejala sama sekali. Tidak hanya itu, para peneliti dari Hokkaido University telah melakukan tes pada 565 orang Jepang yang dievakuasi dari Wuhan, Tiongkok.

Hasilnya,  ditemukan 30,8 persen positif Covid-19 tetapi tidak menunjukkan gejala alias asimtomatik carrier. Kesimpulannya, gejala yang dirasakan orang yang terserang Covid-19 bergantung pada respons imun tubuh masing-masing individu.

Semoga kita terhindar dari ancaman penyebaran virus mematikan ini. Salam kerahiman (***)