Pembohongan Publik di Mata Hukum, Telaah Normatif Hukum Pidana
Oleh : Jermias Rarsina (Advokat & Dosen Hukum UKI Paulus Makassar)
BELAKANGAN ini istilah pembohongan publik semakin mengemuka dan marak dipergunakan dalam berbagai isu. Dalam musim pandemic Covid-19 ini, istilah pembohongan publik banyak digunakan untuk saling menuding antar berbagai pihak.
Terutama, publik yang merasa kecewa sering sekali menuding pemerintah melakukan pembohongan publik terkait penanganan Covid-19. Hingga publik kerap mengabaikan kesahihan (validitas) data-data yang pemerintah sajikan. Pun, kerja keras yang pemerintah upayakan.
Sebenarnya apa itu pembohongan publik, dan bagaimana menurut hukum? Tulisan ini menitikberatkan pada apakah pembohongan publik dikenal dalam KUH Pidana, dan apakah merupakan delik? Mari kita lihat.
Hukum memiliki pemahaman yang luas. Bisa diartikan sebagai suatu perintah, larangan dan sanksi.
Ada juga yang menganggap hukum sebagai segala sesuatu bentuk yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan kebiasaan hidup atau adat istiadat juga dapat diartikan sebagai hukum kebiasan/tidak tertulis.
Hal itu karena hukum dalam optiknya dapat menggunakan berbagai variabel atau pendekatan dalam melihat suatu masalah dan memecahkannya.
Selain itu, ada juga pandangan para ahli hukum tentang terminologi Tindak Pidana (Delik), yang substansinya tidak berbeda dengan uraian singkat di atas.
Dengan luasnya cakupan pemahaman hukum, maka para ahli hukum berpendapat sulit untuk mendefinisikan hukum yang tepat untuk dapat menetapkan rasa keadilan yang hakiki.
Untuk lebih memahami secara jelas, kita harus tau dan paham dulu istilah dan arti delik.
Delik adalah istilah yang universal dalam hukum pidana. Pemerintah Indonesia menggunakan sebutan tindak pidana. Jadi delik sama dengan tindak pidana. Juga ada istilah perbuatan pidana maupun pelanggaran pidana. Semuanya dapat kita temukan dalam beberapa pandangan para ahli hukum pidana sebagai sumber hukum, berupa doktrin.
Tindak pidana secara singkat berarti setiap perbuatan yang dapat dikenakan hukuman, oleh karena melanggar atau menyalahi peraturan hukum pidana.
Kalau demikian anggapan seperti itu, menjadi pertanyaan hukumnya, apakah kebohongan publik itu adalah tindak pidana?
Masyarakat umum terutama yang awam hukum, sering membuat pernyataan sebagai ungkapan kekecewaan/kemarahan terhadap suatu informasi publik yang diragukan kebenarannya karena sikap pesimis/apatis mereka, lalu kemudian menganggap sebagai kebohongan publik.
Seiring perkembangan kejahatan di Indonesia, ternyata pasal KUH Pidana kita tidak mampu mengakomodir berbagai kejahatan yang muncul di masyarakat sebagai penyelesaian masalah pemidanaan.
Selain kejahatan penipuan sebagaimana diatur dalam pasal 378 KUH Pidana, ada juga tindak pidana lainnya dalam KUHP, yaitu berita bohong yang diatur dalam pasal 390 (perbuatan curang tentang menaikan harga barang dagangan, fonds, atau surat berharga uang), Pasal 263 subs Pasal 266 tentang keterangan tidak benar (pemalsuan umum dan berkualifikasi), dan Pasal 242 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keterangan palsu di bawah sumpah bersifat umum dan di muka persidangan dalam perkara pidana.
Semua di atas bermaksud memberi makna hukum bahwa ada unsur pidana berupa kebohongan. Untuk diketahui, dalam KUH Pidana Indonesia tidak ada pasal yang mencantumkan regulasi kebohongan publik.
Namun kata kebohongan dalam KUH Pidana diformulasikan sebagai rumusan unsur-unsur pidana sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal di atas
Berkenan dengan hal itu, maka untuk menjawab tantangan keterbatasan KUH Pidana tentang pasal kebohongan publik, adalah dengan lahirnya UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Yang kemudian telah dirubah dengan UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubaham Atas UU ITE No 11 Tahun 2008.
Dalam UU ITE, pada Pasal 28 ayat (1), mengatur mengenai setiap orang tanpa hak dilarang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Berita bohong di muka umum atau pembohongan publik selain dilarang dalam UU ITE, juga terdapat sanksi pidananya sebagaimana diatur dalam pasal 45 ayat (2) UU ITE. Sanksi yang diatur adalah pidana penjara selama 6 tahun dan/atau denda sebesar 1 milyard rupiah.
Apalagi jika berita bohong di publik telah beredar dan menimbulkan keonaran (kegaduhan) yang sifatnya meluas dan massal. Maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan keberatan hukum sebagai akibat dari pembohongan kepada publik.
Kesimpulannya, sekalipun KUH Pidana secara eksplisit tidak mengatur perbuatan berita bohong di muka umum atau yang disebut sebagai pembohongan publik, namun UU ITE telah mengatur secara jelas dan tegas tentang perbuatan tersebut dan ketentuan sanksi pidananya (***)