Oleh : Imanuel R. Balak, S.H (Mahasiswa Magister Hukum Litigasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)

Akhir-akhir ini publik Indonesia dihebohkan dengan issue “Penistaan Agama” yang diduga dilakukan oleh enam oknum karyawan salah satu clubbing ternama di republic ini  yaitu Holywings di Jakarta.

Kejadian itu kemudian melahirkan gelombang panas berupa kritikan dari sebagian organisasi masyarakat (Ormas) bahkan berujung demonstrasi yang dilakukan di beberapa daerah menyikapi perbuatan yang dilakukan oleh enam oknum karyawan clubbing tersebut.

Sebagai informasi bahwa Penyidik Kepolisian Resort Polres Metro Jakarta Selatan telah menetapkan enam oknum tersebut sebagai tersangka.

Adapun Pasal-pasal yang digunakan dalam Penetapan Tersangka ialah sebagai berikut Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU RI No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Jo Pasal 156 atau Pasal 156 a KUHP Jo Pasal 28 ayat (2) UU RI Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik UU ITE. (CNN Indonesia, Kamis 30 Juni 2022 05:40 WIB).

Kendatipun demikian, sebagai orang hukum, mari kita melihat case ini tentu dengan melakukan analisa lebih jauh berkaitan dengan penetapan Tersangka yang dilakukan oleh Penyidik  Polres Metro Jakarta Selatan.

Menurrut perspektif Penulis, Penyidik Polres Metro Jakarta Selatan dalam proses penetapan tersangka, sedikit menegaskan konstruksi hukum yang dimaksudkan dalam pasal-pasal a quo.

Perlu diketahui bahwa Hukum Pidana Indonesia pada dasarnya memiliki ketegasan secara ketat. Hal itu dapat dijumpai dari Asas Legalitas (Nullum delictum noela poena sine preavia lege poenali) yang memiliki makna “Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana, kecuali atas kekuatan Undang-Undang yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan”.

Dalam perkembangannya asas legalistas diartikan dalam empat prinsip dasar; (Lex scripta) Hukum Pidana Harus Tertulis,  (Lex Certa) rmusan delik pidana harus jelas, dan (Lex Stricta ) rumusan pidana harus dimaknai jelas tanpa adanya analogi, dan terakhir ialah (Lex preavia) Hukum pidan tidak dapat diberlakukan surut. Dari beberapa prinsip tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa hukum pidana harus ditegakan seketat mungkin.

Mengenai sistem pertanggungjawaban pidana, pada dasarnya Hukum Pidana Indonesia merujuk pada Asas Kesalahan, lebih lanjut konsep kesalahan itu secara garis besar dibagi menjadi dua bentuk, yaitu kesalahan dalam bentuk kesengajaan (Dolus) dan Kealpaan (Culpa).

Oleh sebab itu dalam hal pertanggungjawaban pidana, dikenal asas hukum yang tentu tidak dapat disimpangi, Geen straf zondel sculd yang memiliki arti “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan”.

Selain itu ada juga postulat yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, 'Nemo punitur sine injuria, facto, seu deffala, dapat diartikan sebagai; Tidak ada seorangpun yang dihukum, kecuali ia berbuat salah.

Artinya jika dikaitkan dengan case tersebut, Penyidik Polres Metro Jakarta Selatan harus bisa membuktikan kesalahan yang dilakukan para tersangka, setelah itu kemudian bentuk kesalahan tersebut apakah Dolus atau Culpa sehingga atas dasar itulah para tersangka kemudian dapat dimintai pertaanggungjawaban pidana (Criminal Responsibility).

Masih berkaitan dengan pertanggungjawaban (Responsibility), terhadap case ini apabila dihubungkan dengan ajaran kesalahan yang dianut oleh hukum pidana Indonesia, maka dapatlah dipahami sebagai berikut bahwa Hukum Pidana Indonesia ini adalah Anak Kandung Hukum Pidana Belanda sehingga keduanya memiliki kesamaan yang cukup signifikan.

Pada dasarnya ada dua ajaran kesalahan yang dipelopori oleh ahli-ahli hukum pidana terkemuka dari Negeri Kincirangin (Belanda), ada dua nama besar yang memberikan pandangan berkaitan dengan konsep ajaran kesalahan itu, yang Pertama; adalah Kesalahan dalam bentuk Descriptif Sosiologis yang dipelopori oleh Simons, Kedua; Kesalahan dalam bentuk Descriptif Normatif yang dipelopori oleh Pompe, oleh karena itu menurutnya Kesalahan adalah Normanvertrading, (Pelanggaran norma).

Ketika hukum pidana itu diadopsi dan diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, tentu kita mengenal salah satu nama Guru Besar Hukum Pidana Indonesia, yang cukup familiar dikalangan para sarjana hukum, baik itu akademisi maupun praktisi, beliau adalah Prof Moeljatno, S.H, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Pada masanya Moeljatno kemudian melepaskan ajaran Kesalahan dalam bentuk Descriptif Sosiologis, dan menggunakan ajaran Kesalahan dalam bentuk Descriptif Normatif.

Hal tersebut dianut Moeljatno tentu mengikuti ajaran atau pendapat Pompe atas argumentasi sebagai berikut, jika yang dianut Ajaran Kesalahan dalam bentuk Descriptif Sosiologis, maka untuk membuktikan seseorang bersalah, Pengadilan harus mendatangkan ahli psikiater untuk membuktikan kesalahan terdakwa secara sosiologis, hal itu dianggap rumit dalam penegakan hukum (Law Enforcement), akan tetapi jika yang di anut Ajaran kesalahan dalam bentuk Descriptif Normatif, maka untuk membuktikan seseorang bersalah cukup dipenuhinya rumusan pasal dalam UU,  dan itu yang dimaksud dari pembentuk UU maka selesai rumusan delik.

Berbicara mengenai rumusan delik pada dasarnya ada dua unsur yang paling utama dalam setiap rumusan delik yaitu. Pertama; Unsur Objektif dalam konteks teori kita kenal dengan istilah Actus Reus dan Unsur Subjektif, dalam konteks teori kita kenal dengan istilah Mens Rea.

Kaitannya dengan pertanggungjawaban, Mens rea merupakan syarat subjektif yang harus dipenuhi yakni Sikap Batin pelaku ketika melakukan perbuatan pidana atau delik. Sementara Actus reus merupakan syarat objektif yakni adanya perbuatan yang dilakukan pelaku.

Dalam case dimaksud syarat Mens rea’nya belum begitu jelas dalam kaitannya dengan rumusan delik. Yang dikehendaki dalam Mens rea ialah adanya Niat (Voornemen) jahat. Berkaitan dengan niat itu sendiri, menurut Hazewinkel Suringa “Niat (Voornemen) adalah tidak lebih dari suatu rencana untuk melakukan suatu perbuatan tertentu dalam keadaan yang tertentu pula didalam pikiran”.

Selain itu, terdapat ketidakjelasan dalam menafsirkan unsur Mens rea, mengapa Penulis berpandangan demikian, sebab jika promosi tersebut dilakukan dengan niat baik dan bukan niat jahat maka secara tidak lansung menghilangkan unsur kesalahan dari perbuatan.

Hal tersebut Penulis dasarkan atas argumentasi sebagai berikut, bahwa “Ketika para tersangka melakukan promosi Miras tersebut, sangat tidak mungkin mereka melakukan promosi itu dengan niat jahat, akan tetapi sebaliknya mereka justeru mengharapkan dengan adanya promosi yang dilakukan itu dapat  meningkatkan animo konsumen, terhadap usaha yang sedang dijalankan” sehingga unsur Mens rea tidak begitu jelas.

(Kendatipun demikian, dilihat dari perspektif Sistem Peradilan Pidana (SPP), untuk menentukan seseorang bersalah atau tidaknya, menjadi kewenangan serta penilaian hakim).

Berikut adalah Actus reus menghendaki adanya “Perbuatan” dalam case ini adalah Promosi Minuman Keras “Miras” yang berlebelkan nama Muhammad dan Maria, hal itu sedikitnya terpenuhi walaupun secara expersive verbis tidak tertuang dalam unsur pasal.

Artinya dalam konteks pertanggungjawaban pidana Unsur objektif/Actus reus masih bisa dibuktikan, hal demikian dapatlah dibenarkan atas dasar argumentasi sebagai berikut bahwa di dalam Unsur-Unsur dan Jenis-Jenis Delik, kita jumpai kata Element dan Bestandeel.

Element perbuatan pidana adalah unsur-unsur perbuatan pidana, baik itu tertulis maupun tidak tertulis. Sementara Bestandeel hanya meliputi unsur–unsur perbuatan pidana yang secara expersive verbis tertuang dalam norma atau ketentuan suatu pasal.

Dengan demikian merujuk pada dua hal tersebut maka unsur Actus reus bisa dikatakan terpenuhi dalam case tersebut. Walaupun disisi lain jika dibenturkan dengan empat prinsip dasar sebagaimana tersebut terlebih dahulu pada paragraph sebelumnya, yakni Lex Scripta, Lex Certa, Lex Stricta, dan Lex Preavia akan terjadi kontradiksi, yang sedikitnya mengesampingkan kepenntingan kepastian hukum.

Berdasarkan beberapa analisis yuridis yang telah dipaparkan Penulis pada beberapa paragraph sebelumnya, maka sampailah kita pada sebuah pendapat (Opini) yang merujuk pada suatu konklusi sementara.

“Bahwa secara normative Pasal-pasal yang kemudian digunakan dalam menjerat para tersangka kurang begitu jelas dalam rumusannya secara materil, sementara itu mengenai penetapan tersangka sedikitnya mengesampingkan kepastian hokum.

Pasalnya, penyidik hanya melihat dari perspektif hukum prosedur (KUHAP), yang mensyaratkan minimal  dua alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai Tersangka.

Hal ini jika dihubungkan dengan empat hal fundamental dalam pembuktian, yaitu a. Relevansi, b. admissible (Bukti harus dapat diterima), c. Exclusionary rules (Bukti tidak diakui jika diperoleh dengan cara melawan hukum), d. Bukti dapat dievaluasi oleh hakim.

Belum tentu suatu bukti relevan, rtinya kualitas pembutkiannya menjadi diragukan. Dengan demikian proses penetapan tersangka dalam case tersebut secara hukum prosedural dapatlah dibenarkan, akan tetapi secara materil menjadi sesuatu yang masih kabur dan multitafsir”.

Mengakhiri tulisan ini perlu penulis sampaikan bahwa ini hanya pendapat, yang disampaikan berdasarkan sependek pengetahuan (knowledge) penulis mengenai hukum,  juga tidak bermaksud mendeskreditkan pihak-pihak tertentu, atau Lembaga maupun Instansi tertentu, akan tetapi itu adalah piur kajian secara teoritis Penulis.

“Berbeda dalam pandangan adalah seni dalam membangun konstruksi dan memperkaya khasana berfikir kita (Varlly Balak)” (*)