‘Empat Puluh Hari’ di Dubrovnik
JAUH merentang zaman, kehidupan umat manusia kerap menghadapi tragedi-tragedi pilu. Penyebaran penyakit mematikan adalah sebuah prahara kusam, setua usia manusia di muka bumi.
Saat peradaban manusia berkembang, begitu pula dengan penyakit menular. Banyaknya jumlah manusia yang hidup berdekatan dengan sesamanya dan juga hewan, menyediakan ruang bagi penyakit untuk berkembang biak.
Dan dengan semakin cepatnya mobilisasi antarmanusia, maka dengan mudah juga infeksi tersebar hingga akhirnya menyebabkan pandemi. Pada masa ke masa perubahan terus terjadi, namun pola pikir dan naluri manusia tetap sama, hanya sedikit bergeser pada tataran teknis.
Potret kebijakan serupa juga terlihat saat ini. Menghadapi pandemi virus corona yang mematikan dengan dua jutaan nyawa melayang di dunia, tidak membuat manusia melek dalam kecepatan. Bahkan acap kali lalai mengulik sejarah masa lalu.
Padahal sejarah masa lampau harusnya bisa menjadi acuan manusia dalam bersikap. Tapi apa yang terjadi saat ini? Kita menggunakan konsep yang sama, namun longgar dalam tataran teknis dan eksekusi.
Konsep inilah yang kita gunakan dalam menghadapi pandemi coronavirus disease (Covid-19) yang kita kenal dengan istilah ‘karantina’. Duplikatnya yang kini diterapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan konsep yang disebut social distancing (pembatasan sosial).
Namun, kelonggaran kemudian terjadi, dengan alasan kemanusiaan, social distancing lantas dirubah lagi dengan physical distancing (jaga jarak fisik) masih oleh WHO.
Disinilah kelalain itu terjadi. Soal kemanusian adalah hal lain yang tak bisa dipungkiri, namun keselamatan dan perlindungan diri sesungguhnya merupakan hal yang utama.
Padahal, istilah atau kata ‘karantina’ itu sendiri tidak lahir begitu saja. Karantina adalah istilah dari sebuah konsep yang lahir dari peristiwa besar di masa lampau.
Kata ‘karantina’ berasal dari quarantena, bentuk bahasa Venesia yang berarti “Empat Puluh Hari”. Istilah ini diambil dari isolasi kapal selama 40 hari dalam rangka praktik pencegahan penyakit pes yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis.
Pada tahun 1348 dan 1359, peristiwa yang dikenal dengan sebutan ‘Maut Hitam’ atau penyakit pes itu, memusnahkan sekitar 30% populasi penduduk Eropa dan persentase yang signifikan dari populasi Asia.
Bencana semacam itu membuat pemerintah menetapkan langkah-langkah pengendalian untuk menangani epidemi berulang.
Sebuah dokumen dari tahun 1377 menyatakan bahwa sebelum memasuki negara-kota Republik Ragusa di Dalmasia (sekarang Dubrovnik di Kroasia), pendatang baru harus menghabiskan 30 hari (trentine) di tempat terbatas (awalnya pulau terdekat).
Mereka harus menunggu untuk melihat apakah gejala ‘Maut Hitam’ akan berkembang atau tidak. Pada 1448 Senat Venesia memperpanjang masa tunggu hingga 40 hari, sehingga melahirkan istilah “karantina”. (wikipedia.org).
Saat itu, Republik Venesia memimpin dalam langkah-langkah pemeriksaan menyebarnya wabah. Ada tiga penjaga kesehatan masyarakat pada tahun-tahun pertama Maut Hitam mewabah.
Catatan tindakan pencegahan berikutnya datang dari Reggio/Modena pada tahun 1374. Venesia mendirikan lazaret (rumah sakit bagi penderita penyakit menular) pertama di sebuah pulau kecil yang berdampingan dengan kota pada tahun 1403.
Kebijakan ini kemduian dicontohi oleh Genoa pada tahun 1467. Genoa merubah rumah sakit penderita kusta di Marseille menjadi rumah sakit pes. Lazaret besar Marseille, mungkin yang paling lengkap dari lazaret lainnya, didirikan pada 1526 di pulau Pomègues.
Praktik karantina di semua lazaret Mediterania tidak berbeda dari prosedur yang diterapkan di Inggris dalam perdagangan Levantin dan Afrika Utara.
Ketika wabah kolera datang pada tahun 1831, beberapa lazaret baru didirikan di pelabuhan barat, terutama lazaret yang sangat luas di dekat Bordeaux, yang kemudian dialihkan untuk penggunaan lain.
Lebih jauh menyimak sejarah konsep karantina juga telah dianjurkan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Model karantina terhadap orang yang tengah menderita penyakit menular tertuang dalam sebuah hadist yang berbunyi:
“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)
Ketika itu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat orang yang mengalami lepra atau leprosy.
Kisah yang sama kemudian berlanjut antara tahun 706 dan 707 di masa kepemimpinan khalifah Umayyah keenam Al-Walid I dengan membangun rumah sakit pertama di Damaskus.
Rumah sakit dibagun, kemudian Al-Wahid I mengeluarkan perintah untuk mengisolasi mereka yang terinfeksi kusta dari pasien lain di rumah sakit.
Praktek karantina wajib bagi penderita kusta di rumah sakit umum berlanjut sampai tahun 1431, ketika Kesultanan Utsmaniyah membangun rumah sakit kusta di Edirne.
Penerapan karantina dilakukan di seluruh dunia Muslim, dengan bukti karantina komunitas secara sukarela dalam beberapa insiden yang dilaporkan ini.
Karantina komunitas sukarela yang pertama kali didokumentasikan didirikan oleh reformasi karantina Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1838.
Di masa kolonial, pemerintah Belanda pernah melakukan hal yang sama di Indoensia. Konsep itu diterapkan beberapa kali dalam penanganan penyakit menular di negeri jajahan, seperti kusta, kolera, pes, dan influenza dengan sebuah ordonansi (peraturan pemerintah) tentang karantina.
Liesbeth Hesselink, peneliti sejarah kesehatan Hindia Belanda sekaligus penulis Healers on the Colonial Market mengungkap hal itu. (catatan historia.id)
Selain berpijak pada ordonansi karantina, kebijakan saat itu diambil berdasarkan aturan yang dimuat Staatsblad van Nederlandsch Indie nomor 277 tahun 1911 tentang pemberian wewenang kepada pejabat pemerintah untuk melakukan karantina pada daerah yang terkena wabah.
Aturan ini menegaskan, orang-orang dilarang keluar-masuk daerah terjangkit dan akan mendapat sanksi pidana bila melanggar. Selain itu, kebijakan karantina diambil bertolak dari Perjanjian Sanitasi yang dirundingkan beberapa negara yang memiliki koloni di Asia.
Saat ini, kebijakan pengendalian penyebaran Covid-19 cukup longgar. Masih saja terjadi sirkulasi dan mobilisasi penduduk dari satu daerah ke daerah yang lain.
Meskipun kondisi terakhir, pemerintah sudah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), namun keterlambatan telah memicu ledakan baru dalam penyebaran virus mematikan itu.
Ini terkonfirmasi melalui transmisi wabah yang mulai dirasakan beberapa daerah di Indonesia. Prevalensi tak bisa diukur, karena upaya tracing belum tentu bisa mengungkap kedalaman penyebaran virus ini. Dan akhirnya, kita menerima semua yang terjadi dengan harap-harap cemas.
So ‘karantina’ kita gunakan, tapi jauh dari makna yang sesungguhnya, seperti makna yang diperoleh di Dubrovnik di Kroasia, “Empat Puluh Hari” (***)