Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST  (Statistisi Muda BPS Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara )

Hari Statistik Nasional atau biasa disebut HSN merupakan hari yang spesial bagi kalangan statistisi. Karena, pada hari itu biasanya dimanfaatkan sebagai momen untuk saling berbagi ilmu, tukar informasi dalam wujud Seminar Nasional Statistik. Narasumber yang didatangkan pun merupakan pakar statistik dari berbagai belahan dunia.

Pun dengan peringatan HSN pada tahun ini. Polstat STIS yang berkolaborasi dengan Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik BPS berhasil mengundang Marcel van Kints,

Wayne Wobcke, Ashish Kumar dan Niel Hens untuk mengisi acara Seminar Nasional Official Statistics. Para tokoh tersebut merupakan pejabat Institusi Statistik Dunia dan Profesor Statistik pada beberapa kampus di Eropa.

Bedanya, pada tahun ini seminar diadakan secara daring. Ya, lagi-lagi akibat pandemi. HSN yang dirayakan tiap tanggal 26 September ini masih belum banyak diketahui oleh khalayak ramai, khususnya para insan non statistisi. Namun, tahun ini mungkin momen yang pas untuk mensosialisasikan HSN di tengah masyarakat, karena berbarengan dengan hajatan nasional terkait statistik yaitu lanjutan Sensus Penduduk 2020.

Dengan adanya lanjutan Sensus Penduduk yang terlaksana pada September ini, masyarakat non statistisi mungkin lebih mudah menyerap informasi terkait HSN.

Tahun ini juga merupakan momen yang tepat untuk membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya statistik.

Karena apa? Mindset yang tertanam pada masyarakat selama ini adalah statistik itu selalu terikat dengan data, dan data adalah kumpulan angka. Biasanya masyarakat cenderung malas untuk melihat angka-angka. Kecuali angka-angka yang tercantum pada slip gaji mereka, informasi diskon, dan hal lain yang sejenis.

Bagi kita para statistisi, data merupakan salah satu output yang kita hasilkan dalam pekerjaan. Sudah hal yang wajar, kalau kita selalu berjumpa dengan kumpulan angka-angka tersebut.

Tugas kita para statistisi adalah mengurai makna dibalik angka-angka yang dihasilkan dari pendataan. Agar masyarakat awam lebih tertarik untuk memahami pentingnya statistik.

Bisa dibilang, data itu barang yang unik. Sekilas tidak penting, tapi banyak yang melirik.

Sejauh ini, data baru dilirik hanya pada saat seseorang atau golongan ingin memperoleh keuntungan. Bahasa kasarnya mungkin, sejauh ini data hanya dijadikan kambing hitam saja.

Contohnya pada saat Pemilihan Umum (Pemilu). Entah itu kepala daerah maupun anggota dewan.

Pada momen Pemilu itulah data selalu menjadi hal yang disorot. Dalam hal ini adalah data Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang bisa berkontribusi dalam pemilihan umum. Karena data DPT menentukan siapa yang akan memenangkan Pemilu.

Pihak yang kalah, hampir Sebagian besar menyatakan tidak puas dengan hasil Pemilu dengan alasan data DPT yang masih semrawut dan tidak jelas.

Disisi lain, statistik hadir di tengah panasnya Pemilu melalui Quick Count-nya. Siapa yang tidak mengenal Quick Count. Metode yang muncul di Indonesia pada Pemilu 2004 ini, sudah teruji pada beberapa kali Pemilu di Indonesia.

Hasilnya pun selalu tidak berbeda jauh dengan Keputusan Final KPU. Inilah hebatnya metode statistik yang digunakan untuk mengestimasi nilai populasi. Dan kehebatan statistik semacam inilah yang perlu disajikan kepada masyarakat awam agar lebih memahami pentingnya statistik.

Selain hanya dijadikan kambing hitam, data selalu telat untuk disadari setelah sebuah peristiwa terjadi. Contohnya data mengenai pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar Rupiah, ekspor, dan impor. Masyarakat awam bisa dibilang tidak mengetahui makna dari variable ekonomi tersebut sebelum pandemi COVID-19 melanda Indonesia.

Namun, setelah pandemic COVID-19 bersemayam di Indonesia masyarakat awam secara tidak langsung mengetahui makna dari variabel tersebut.

Disisi lain, memang ahli ekonomi terus yang selalu muncul di beberapa media untuk membahas ekonomi Indonesia selama pandemi. Sehingga masyarakat awam memahami secara tidak langsung, akibat variabel tersebut sering diucapkan sang penutur. Kemudian, akibat sering menyepelekan pentingnya data. Kita pasti juga tidak sadar bahwa data itu merupakan barang mahal.

Kebanyakan dari kita pasti berpikir bahwa data itu tidak bisa diperjualbelikan dan tetap akan mangkrak menjadi kumpulan angka saja.  Faktanya, data itu sangat bisa diperjualbelikan, dan sekelompok orang yang menyadari hal tersebut tentu akan sangat beruntung.

Selain mahal karena tingkat kepentingannya yang tinggi, data juga mahal karena proses memperolehnya membutuhkan waktu dan orang yang tidak sedikit, sehingga memakan biaya yang besar.

Masyarakat juga perlu menyadari bahwa data itu dekat dengan kita. Menumbuhkan cinta data itu sangat mudah, bisa dimulai dengan hal-hal kecil seperti mencatat.

Dengan mencatat, secara tidak langsung kita akan lebih menghargai manfaat data bagi diri sendiri. Misalnya, mencatat pengeluaran rumah tangga sendiri secara harian.

Dengan mencatat pengeluaran harian, kita akan bisa mengontrol konsumsi rumah tangga harian kemudian diselaraskan dengan pendapatan yang kita terima. Contoh tersebut jelas akan mempermudah manajemen keuangan rumah tangga.

Pada akhirnya, kehidupan kita memang tidak bisa terpisahkan dengan data maupun statistik.

Sadar maupun tidak, data akan menjadi kebutuhan pokok manusia pada dekade ini. Ya, sesederhana iklan yang bermunculan pada media sosial kita, pasti selalu sinkron dengan akses informasi yang senantiasa kita cari. Kenapa bisa begitu? Karena internet telah mencatat jejak anda. Jadi, mari kita tumbuhkan Gerakan Cinta Data dengan mencatat (*)