Mengakhir surat terbuka ini, saya mengajak Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers membuka lagi risalah sidang-sidang penting Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI), terutama sidang PPKI tanggal 15 dan 16 Juli 1945 tentang rancangan UUD negeri ini. Ketika itu Bung Hatta dan Profesor Soepomo melotarkan gagasan besar bernama “Publieke Opinie”.

Pada sidang yang dihadiri lengkap anggota PPKI inilah, muncul argumen yang menggambarkan kehendak pembentuk UUD 1945 tentang konsep menteri. Saya menaruh hormat kepada semua anggota PPKI, tetapi saya lebih kagum kepada Pak Hatta (anggota PPKI) dan Pak Soepomo (Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945).

Saat Pak Soepomo menerangkan draf UUD 1945, Pak Hatta meminta kesempatan bicara. Permintaan Pak Hatta disetujui dan dipersilakan Pak Radjiman yang menjadi Ketua sidang. Semoga amal baik mereka semua diterima disisi Allah Subhanau Wata’ala.

Pandangan Pak Hatta tentang pentingnya para menteri memahami perasaan umum yang hidup dan berkembang di masyarakat didukung oleh Pak Soepomo. Kata Pak Soepomo, kita harus percaya kebijaksanaan Kepala Negara dan pembantu-pembantunya. Mereka bukan pembantu biasa. Tetapi orang-orang yang sangat terkemuka, dan ahli negara yang bukan saja mengingat “publieke opinie” atau perasaan umum di dalam DPR. Tetapi juga mengerti publieke opinie di dalam masyarakat pada umumnya.

Begitulah pandangan menembus zaman kedua bapak pendiri bangsa yang mempersiapkan UUD 1945. Menteri yang dikehendaki Pak Hatta maupun Pak Soepomo harus yang bisa menyerap, merespon publieke opinie atau perasaan umum masyarakat. Masalahnya bagaimana publieke Opinie itu diketahui? Harus diketahui siapa? Harus diketahui oleh menteri.

Menteri tidak memiliki kapasitas pribadi atau natural person. Tetapi menteri itu individu dalam makna legal person yang diciptakan UUD 1945. Konsekuensinya, selama orang itu berstatus menteri, maka natural person terserap ke dalam kapasitas sebagai menteri. Status hukumnya sebagai pribadi atau natural person, telah terabsorbsi sepenuhnya ke dalam status sebagai menteri.

Kalau tidak ada orang yang bicara, baik itu melalui pers maupun bukan pers, karena takut dikekang, takut dipenjara, takut dituduh fitnah dan sejenisnya, bagaimana menteri bisa tahu tentang perasaan umum yang dipikirkan Pak Hatta dan Pak Soepomo itu? Pada titik inilah “pandangan Pak Hatta dan Pak Seopomo menjadi penyedia lentera untuk menteri mengetahui publieke opinie atau perasaan umum. Apa saja itu? Hak masyarakat untuk bersuara.

Kata Bung Hatta dalam pertemuan 15 Juli 1945, “hendaklah kita perhatikan syarat-syarat, supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi negara kekuasaan. Kita bangun masyarakat baru yang berdasar gotong royong dan usaha bersama. Tujuan kita untuk membaharui masyarakat. Jangan kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu, masih ada suatu negara lagi yang bernama kekuasaan”.

Setelah Muh. Yamin bicara dalam nada yang sama, pendangan Pak Hatta dan Pak Soepomo tentang publieke opinie disetujui. Persetujuan itu dicapai tanggal 16 Juli 1945, dan dikristalkan menjadi pasal 28 UUD 1945. Hebat betul bapak-bapak perancang UUD 1945 itu.

Mereka tidak licik, tidak picik dan tidak kerdil. Mereka tidak menyediakan teknis, tetapi sarana konstitusi yang memastikan negara setelah terbentuk, tidak menjadi negara penindas, dan negara tiranis terhadap kebebasan dan perbedaan pendapat di masyarakat.

Begitulah cara bapak bangsa mengontrol, dan membuat jaminan negara tidak menjadi negara kekuasaan. Caranya, memberi ruang yang luas kepada warga negara hak untuk bersuara. Hak untuk bicara dan mengkritik penguasa. Dengan hak itu, orang tak takut bicara, karena khawatir akan ditindas, dipenjara dengan tuduhan artificial khas negara kekuasaan yang otoriter.

Masyarakat bicara tentang apa saja? Tentang kehidupan bernegara, bicara postur paling aktual dan nyata dari pemerintah. Bicara presiden dan menteri-menteri yang menjadi pembantunya dalam menyelenggarakan pemerintahan. Hak untuk bersuara adalah cara para negarawan itu memungkinkan perasaan umum itu terlihat oleh pemerintah, presiden dan menteri-menteri. Sungguh logis dan hebat para pendiri bangsa. Sungguh manis impian para negarawan itu.

Berkelas dan mengagumkan jika Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers mengenal, memahami dan menghidupkan kehendak para pembentuk UUD 1945, sehingga membuat bangsa ini berjalan menemukan jalan terang dan menjemput hari esok yang hebat. Tugas pers itu mengawal, menjaga dan memastikan negara dikelola sesuai cita-cita dan tujuan bernegara.

Demokrasi menjadi hebat bila sivil society aktif dan mengkritisi yang sedang berkuasa, tanpa melihat siapa yang berkuasa. Untuk itu, kenali unsur-unsur ganasnya, lalu disingkirkan. Semoga bermanfaat untuk insan pers negeriku tercinta. (*)

Penulis; Kisman Latumakulita, Wartawan Majalah FORUM Keadilan