Sementara istri korban, Nomi Behuku (40) menerangkan, saat kejadian naas itu ia sedang tidur di tenda yang berdekatan dengan rumah pelaku.

Ia terjaga saat mendengar suara kesakitan dari suaminya yang sedang berada di rumah pelaku. Noni kaget dan spontan lari tinggalkan tenda guna menyelamatkan diri, sehingga tidak menyaksikan  kejadian di rumah pelaku.

Istri korban mengaku tidak berani mendatangi TKP karena takut, sebab pelaku Mantibang Nurlatu pernah memaranginya sekitar tahun 2007 lalu.

Menurut Aipda Djamaluddin, peristiwa pembunuhan itu baru dilaporkan kepada kepolisian setelah pagi hari.

Kapolsek Waeapo, Ipda Zainal bersama personil Polsek kemudian menuju TKP dengan berjalan kaki selama satu jam dan baru tiba pukul 09.15 WIT.

Selang beberapa menit, giliran Kasat Reskrim Iptu Handry Dwi Azhary dan personilnya tiba di TKP. Namun pelaku dan istrinya  tidak ditemui lagi di sana. Keduanya diduga telah melarikan diri ke dalam hutan.

Setelah olah perkara, jenazah korban ditandu guna dibawa ke Puskesmas Waelo untuk dilakukan visum et repertum. Sesudah itu jenazah hendak dipulangkan kepada keluarganya pada pukul 15.40 WIT.

Ironisnya, saat melewati Dusun Tanah Merah, Desa Waetina, iringan jenazah yang diantar personil polisi dihadang warga setempat yang keluar dari rumah menggunakan parang dengan tombak.

Warga Tanah Merah memaksa polisi agar membawa korban ke Dusun Watempuli di Kecamatan Lolongquba, agar dikebumikan di dusun alamat tempat tinggal pelaku.

Mereka meminta polisi agar korban dikuburkan satu liang lahat dengan pelaku yang telah membunuh korban. Mereka menuntut agar keluarga pelaku ikut bertanggungjawab.

Tuntutan yang tidak masuk akal itu spontan tidak diterima Kapolsek Waeapo Ipda Jainal yang turut mengantar jenazah korban, sehingga terjadi perang mulut. Akibatnya sempat terjadi ketegangan di lokasi tersebut.

Setengah jam tertahan di sana, akibat warga ikut memalang jalan, akhirnya jenazah korban  dapat dibawa sampai di Dusun Walumnako dan diserahkan kepada pihak keluarganya (BB-DUL)