Oleh: Rudy Rahabeat (Pendeta GPM)

SEJARAWAN GPM, Pdt Johan Saimima mengingatkan siklus 60 tahunan sejarah Pesan Tobat. Pada tahun 1960 GPM pernah mengeluarkan sebuah pesan gembala yang dikenal dengan Pesan Tobat. Inti dari pesan itu adalah seruan kepada seluruh pelayan dan umat GPM untuk kembali ke jalan yang benar.

Rupanya konteks saat itu ada sejumlah perselisihan dan perdebatan, khususnya dalam forum Sidang Sinode. Olehnya, Pesan Tobat itu dicetuskan. Lalu bagaimana kondisinya  setelah 60 tahun berlalu?

Sebenarnya tidak perlu menunggu enam puluh tahun baru kita bertobat lagi. Sebab pertobatan sejati berlangsung setiap hari, seumur hidup. “Bertobatlah karena kerajaan Allah sudah dekat” begitu seru Yahya pembabtis ribuan tahun silam.

Rasul Paulus memperluas dimensi pertobatan itu dalam kalimatnya yang terkenal “Berubahlah oleh pembaruan budimu” (Roma 12). Jadi pertobatan itu bukan sekedar kulit luar, bukan slogan bukan pula khotbah. Pertobatan itu totalitas hidup, jiwa dan raga, jasmani rohani, lahiriah-batiniah.

Catatan kritis terhadap isi pesan tobat 1960 antara lain isi pesan itu cenderung berdimensi internal dan rohaniah. Padahal pertobatan itu bukan semata soal individu atau pribadi. Kita juga butuh pertobatan sosial, pertobatan nasional bahkan pertobatan global.

Bertobat dari penyalahgunaan kekuasaan, kerakusan dan kerasukan mengeksploitasi alam serta praktik otokrasi dan oligarki yang memperpuruk peradaban.

Pertobatan bukan semata urusan satu orang atau satu lembaga atau satu agama saja. Pertobatan harus menjadi gerakan semua orang, semua agama, semua bangsa, semua ciptaan.

GPM hidup di tengah konteksnya yang plural dan perubahan sosial yang revolusioner. Secara lokal GPM yang berlokus di provinsi Maluku dan Maluku Utara juga sangat plural. Ada beragam persoalan yang dihadapi, ada beragam budaya dan tradisi yang hidup di hamparan kepulauan Maluku, ada berjuta imajinasi yang bermain di kepala manusia-manusia di pulau-pulau.

Imajinasi tentang masa depan yang lebih sejahtera, tentang hidup yang bebas dari dominasi dan hegemoni, eksploitasi dan ketidakadilan serta ancaman terror dan krisis global.

Dalam konteks nasional, GPM bergumul dengan paham kebangsaan dan komitmen nasionalisme. Salah satu setting sosial Pesan Tobat juga terkait dengan komitmen GPM untuk berada dalam NKRI, menepis stigma GPM sebagai bagian dari gerakan separatis.

Walau merupakan bagian dari sejarah kehadiran kolonialisme di Maluku dan Indonesia, namun GPM tidak dapat disamakan begitu saja dengan kolonalisme.

Ada kritik poskolonialisme yang menyertai sejarah perjalanan GPM, termasuk komitmen dan kontribusinya bagi bangunan kebangsaan Indonesia.

Beberapa jejak yang dapat disebut antara lain terbaca pada buku GPM di Hati Bangsanya yang diterbitkan MPH Sinode GPM  (2018) dan program studi doktoral Agama dan Kebangsaan di UKIM Ambon.

Pada skala global, agama-agama, gereja-gereja termasuk GPM dituntun untuk dapat memberi kontribusi bagi peradaban bersama. Apalagi pandemik kovid 19 ini memberi tantangan bagi agama-agama untuk memberi jawaban yang komprehensif dan fundamental.

Apakah agama-agama masih relevan atau agama-agama perlu melakukan pertobatan global untuk menjadi kekuatan etik moral bagi peradaban baru yang lebih optimistik.

Kita tidak bisa menjadi gereja yang isolatif dan konservatif. Kita mesti menjadi gereja yang terbuka dalam konteks mondial sembari mengartikulasikan  nilai-nilai Kekristenan yang menolong hidup bersama yang damai dan adil bagi semua ciptaan di planet ini.

85 tahun usia GPM tentu sebuah ziarah yang cukup panjang dan penuh liku-liku. Kita tetap bersyukur sebab Tuhan masih berkenaan memakai gerejanya untuk melayani dan bersaksi di kepulauan Maluku, Indonesia dan dunia ini.

Dalam keterbukaan untuk dituntun oleh Roh Allah dan membarui diri secara terus menerus, maka wacana Pesan Tobat kedua, tidak harus menunggu 60 tahun.

Tidak juga sekedar niat dan kata-kata, namun terus melekat dan dihidupi dalam praktik tiap-tiap hari. Kita perlu meneruskan kerjasama lintas agama yang sudah dilakoni GPM dalam lintasan sejarahnya.

GPM harus menjadi ikon gereja orang basudara yang menghargai pluralisme, solidaritas inklusif dan  toleransi fungsional. Berjuang menegakan keadilan dan kebenaran secara konsisten apapun resikonya.

GPM menjadi bagian dari arak-arakan semua umat manusia yang mencintai kasih, damai, keadilan dan kesejahteraan.

Saya akhiri catatan refletif ini, dengan renungan seorang pendeta GPM yang kini diutus menjadi Sekrataris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. Pdt Jacky Manuputty menulis: “Selamat HUT ke-85 Gereja Protestan Maluku.

Gereja bagai bahtera, naik turun dihempas gelombang, namun tak pernah karam karena dinahkodai Allah sendiri”. Ya, GPM akan terus hidup karena kasih karunia Allah. Dan untuk itu GPM akan terus melayani bagi daerah, bangsa dan dunia ini sebagai hamba Allah, sebagaimana spirit tema HUT GPM  6 September 2020.

Selamat Hari Jadi ke-85 Gereja Protestan Maluku. Ingatlah motto GPM: “Aku menanam, Apolos menyiram tetapi Allah yang memberi pertumbuhan” (1 Korintus 3:6). Tuhan memberkati kita semua. (***)