Dalam dimensi hukum, ketika yang digunakan oknum Kimia Farma adalah rapid tes antigen bekas, maka secara hukum “Surat Hasil Pemeriksaan Rapid Test Antigen” tersebut juga tidak sah secara medis dan hukum.

Maka telah patut secara hukum, surat hasil pemeriksaan rapid test antigen tersebut, juga merupakan surat keterangan palsu,sehingga secara hukum oknum pegawai PT Kimia Farma Diagnostica tersebut dapat dipidana sesuai Pasal 267 KUHP atau Pasal 268 KUHP.

Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 menyebutkan “tujuan hadirnya BUMN adalah menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak”.

Menurut penulis, rapid test antigen bagian dari barang, sedangkan oknum pegawai bagian dari jasa medis, dan bermutu tinggi mengandung makna bahwa tidak dibenarkan menggunkan rapid tes antigen bekas.

Selanjutnya ketika berbicara hajat hidup orang banyak, rapid tes antigen bagian dari keadaan darurat Covid-19 yang ditetapkan sebagai Presiden sebagai bencana nasonal yang mana sangat dibutukan dalam setiap aktivitas masyarakat.

Dari sini, jelas tindakan oknum pegawai tersebut tidak sesuai dengan tujuan hadirnya BUMN.

Presiden Joko Widodo sebagai panggung jawab tertinggi hukum kemanusiaan dalam pelayanan kesehatan, sudah sepatutnya melakukan upaya proses hukum tidak hanya oknum pegawai, namun level pimpinanpun ataupun aktor intelektual harus dimintai pertanggungjawaban hukum pidana.

Selain itu penting juga melakukan pengawasan terhadap seluruh rumah sakit, klinik, apotik baik yang dimiliki pemerintah maupun swasta agar perbuatan amoral dan melawan hukum penggunaan antigen bekas tidak terulang kembali.

Saran penulis, alangkah baiknya rapid tes antigen ditiadakan saja, diganti dengan vaksinasi, agar masyarakat tidak terbebani secara ekonomi dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Joko Widodo (***)