Seperti dikutip detik.com, Bahlil pernah mengisahan, awal mula jadi pengusaha itu dimuali sejak kecil.

“Sejak SD saya itu memang sudah jualan kue. Itu terjadi bukan karena ingin, saya juga dulu nggak ingin jadi pengusaha. Tapi karena itu keterpaksaan. Karena memang keluarga saya itu, mamah saya itu kan laundry di rumah orang, pembantu rumah tangga. Bapak saya itu buruh bangunan, gajinya Rp 7.500/hari,” kenangnya.

Bahlil adalah anak kedua dari sembilan bersaudara,  kemudian 1 saudaranya  meninggal dunia.  Sejak di bangku SD orang tuanya membolehkan mereka bersekolah, namun harus cari duit.

“Jadi saya menjual kue, menjaja kue dari apa yang mamah saya buat, itu adalah bentuk keharusan, yang saya harus lakukan dalam rangka mempertahankan eksistensi hidup. Kalau nggak, saya nggak bisa bantu mamah saya, adik-adik saya banyak,” katanya.

Dari rutinitas itulah Bahlil bisa membeli buku, bisa beli sepatu, bisa beli kelereng. Kondisi  itu berlanjut terus hingga dirinya duduk dibangku  SMP. Saat di bangku SMP  karena  kondisi orang tuanya yang susah, Bahlil pernah menjadi kondektur angkot.

“Saya juga jualan ikan di pasar. Terus pernah jadi helper excavator dari kontraktor. Tinggal di hutan pada saat musim libur sekolah. Dan saat di bangku SMEA, juga jadi sopir angkot.

Semua kisah pahit itu terjadi semasa  menetap di  Papua. Jadi sekolah sambil cari duit adalah sebuah keharusan, keterpaksaan dalam rangka melanjutkan hidup, melanjutkan sekolah, dan sekaligus membantu orang tua.

“Saya kuliah pun begitu,” ungkapnya.

Saat berangkat kuliah, tuturnya,  orang tuanya tidak pernah tahu.  Karena saat berangkat Bahlil hanya membawa ijazah, baju cuma tiga, kemudian modal  SIM dan kantong kresek.

“Saya naik Kapal Perintis, dari Fakfak ke Jayapura. Itu dua minggu baru tiba ke Jayapura. Campur dengan kambing-kambing di situ, apa namanya, kayu, keladi, sudah campur, Kapal Perintis itu,” ceritanya.

Bahlil mengaku saat itu berangkat ke Jayapura, hanya  karena melihat teman-teman seangkatan  pergi kuliah. Dan akhirnya dia pun memutuskan untuk menyebrang  ke Jayapura.

“Saya tidak tahu harus kemana masa hidup di terminal terus, (maka) mencoba lah berangkat ke Jayapura,”ungkapnya.

Orang tuanya tahu kalau Bahlil berangkat ke Jayapura, tapi tidak tahu  berangkat untuk kuliah, karena memang tidak punya duit.

Saat berangkat, orang tua tahu berangkat ke Jayapura. Dan almarhum ayahnya sempat  bertanya “Ngapain kamu di Jayapura? Saya hanya menjawab cari nasib saja,” kata Bahlil.