Saat kuliah di Jayapura, itu Bahlil  tinggal di asrama. Waktu itu tidak ada lagi kampus yang mau menerimanya, tapi saat ketua asrama dulu itu yang sekarang jadi Wakil Gubernur Papua Barat, bilang kepadanya  “Kau harus kuliah. Sudah kuliah saja, ayo kita daftar’. Akhirnya dia pun mendaftar kuliah ke swasta.

Besoknya, Bahlil pun mendaftarkan diri untuk kuliah dan berhasil terdaftar sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Port Numbay Jayapura, Papua. Setiap pagi  jam 5 subuh, Bahlil harus sigap  menjadi tukang dorong gerobak.

“Jadi, kan dari pasar ke tengah jalan, ke pasar itu kurang lebih 70-100 meter, mau tidak mau orang belanja kan harus tenteng tuh belajaannya sampai di pinggir jalan besar sampai dia naik angkot. Nah saya bagian memfasilitasi itu, saya masih ingat itu Rp 200 perak, saya masih ingat itu,”kenangnya lagi.

Dari hasil kerja seperti itu, uangnya untuk biaya kuliah. Bahlil mengaku tidak sekalipun malu dengan pekerjaan yang dijalani.

You malu karena kerja ini atau youmati, atau you maling. Saya mencoba sebagai orang dewasa, sudah tamat SMA, sudah tahu cewe lah, rasa malu ada tapi saya mencoba menyembunyikan itu. Dan tidak untu memperlihatkan. Yang penting niat saya waktu itu adalah, sudah deh saya kuliah,” katanya.

Saat kuliah di Jayapura, Bahlil kemudian masuk menjadi aktivis. Saat semester tiga sudah jadi ketua senat.  Dan pernah dipenjara beberapa kali, karena  demo tahun 98, tahun 97. Ia dipenjara karena sebagai ketua senat, memimpin pergerakan.

“ Waktu itu saya eks 66, waktu di Papua, kami adalah pelakunya,” tuturnya.

Dan pada semester 5 dirinya diangkat menjadi ketua senat. Setelah itu semester 6 Bahlil kemudian  mulai berpikir bahwa harus menghentikan kemiskinan ini.

“Saya bertekad harus setop dengan kemiskinan, kemiskinan ini paling tidak baik,” kenangnya.

Tekad ini tertanam di benaknya, kerana saat menetap di asrama, makannya sangat sulit. Tidak  pernah dapat kiriman dari orang tua.

“Kita makannya itu setengah nasi, setengah bubur. Kenapa? supaya dapat banyak. Kalau beras sudah habis, itu kami sarapan pagi pakai mangga, mangga buah, mangga muda yang jatuh di samping asrama, itu yang saya makan. Makanya saya pernah sakit busung lapar, ini nggak pernah media tahu,” bebernya.

Sakit busung lapar ini diderinya sejak semester 6.  Jadi penderitaan yang bener-bener paling menderita itu dirasain. Dan pada saat  sakit itu, Bahlil bertekad harus berhenti dengan kemiskinan, dan caranya adalah dengan jadi pengusaha.